Dengan santainya mereka berjalan menuju pintu utama. Satpam yang jaga Pak Rahmat tergolong tegas.
"Pak kami izin pulang, ini surat izinnya.
"Kenapa pulang?"
"Harry sakit perut Pak, mulas dari tadi," ujar Robert.
Harry pura-pura meringis, wajahnya yang tirus, badannya yang kerempeng membuat kepura-puraannya hampir saja diizinkan Satpam Rahmat. Tapi Pak Rahmat tidak semudah itu percaya karena Robert sudah terkenal dengan kenakalannya.
"Sebentar saya telepon dulu guru piketnya. Sini handponemu biar saya telepon guru piket. Pulsaku lagi habis paketannya."
"yah, Bapak tak percaya, teman saya sudah sekarat nih." Sambil menunjukkan si Harry yang tambah berpura-pura meringis dan merintih menahan sakit.
"Aduh Pak Rahmat taambah sakit nih, mules banget, melilit," Harry tetap mempertahankan perannya sepertinya cocok jadi main sinetron.
"Sini handponenya!"Pak Rahmat sudah memasang wajah seramnya, apalagi melihat kumisnya yang tebal jika marah naik satu centimeter. Begitulah kira-kira dan wajahnya juga sangar.
Mau tak mau akhirhya Robert memberikan handponenya Alamak bakalan panjang urusannya ini.
"Halo Bu Diah, apakah benar Robert dan Harry izin pulang."