"Pede banget kamu, Ri, Ri," ucap Abah sambil tersenyum lebar. "Baiklah, hari Minggu besok Abah akan bawakan empat calon istri untukmu. Mereka nanti Abah suruh untuk memakai cadar agar kamu juga tidak melihat dari wajah. Sekarang, siapkan pertanyaan untuk mereka."
"Oke, aku setuju."Â
Hari Minggupun tiba. Abah dan emak telah mempersiapkan semua, begitu juga denganku. Sesuai janji Abah, empat orang gadis pilihan itu didatangkan ke rumah. Mereka datang hampir bersamaan dan semuanya tepat waktu sesuai yang telah ditentukan, jam delapan pagi.Â
Mereka datang ditemani ayah dan ibunya, jadi lumayan ramai. Para gadis itu memakai pakaian yang sama dan bercadar. Pasti Emak sama Abah yang mengatur.Â
Para gadis itu duduk di depanku dan orang tua mereka duduk agak jauh. Mereka tampak kebingungan, mungkin mereka tidak diberitahu oleh orang tua masing-masing. Hanya orang tua mereka yang tahu proses ini.Â
"Anak-anakku, maafkaan atas keadaan ini yang membuat kalian bingung. Ini adalah putraku. Namanya Ari Rayyan Mahardika. Usianya 27 tahun, usia yang cukup matang untuk menikah. Dia bekerja di PT NAGASAKTI dan mejabat sebagai direksi. Kali ini saya bukan ingin melakukan kontes jodoh, tetapi karena susahnya mencarikan jodoh untuk anak saya, dia maunya seperti ini, tes secara langsung," ucap Abah membuka pembicaraan. Para gadis saling pandang. Sepertinya mereka baru tahu, bahkan ada salah satu dari mereka yang ingin protes, tetapi dicegah oleh orang tuanya.Â
"Anak-anakku, Ari ini anak yang cuek. Dari dulu nggak pernah pacaran, semoga salah satu dari kalian adalah yang beruntung manjadi pilihannya," lanjut Abah.Â
Para gadis saling pandang dan mengangkat bahu. Aku sendiri penasaran, kayak apa mereka, ah, kenapa harus bercadar, sih. Abah sama Emak itu aneh-aneh saja.Â
"Baiklah, sekarang acara akan saya serahkan ke putra saya, Ari. Dia yang akan mewawancarai kalian. Oh iya, pasang name tag kalian, yah."
Setelah itu, ayah bergeser tempat duduk. Para gadis memasang name tag, gadis pertama bernama Nita, kedua Arin, ketiga Nisa dan keempat Lisa. Huh, deg-degan.
Kuberanikan bicara ke mereka. Pandangan mereka tertuju kearahku semua hingga menembus jantung hati.Â