Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Seindah Pelangi Senja (104)

21 Oktober 2015   21:07 Diperbarui: 21 Oktober 2015   21:07 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

DEJA VU? Miracle, ataukah halusinasi semata.  Riko tak percaya dengan apa yang tiba-tiba hadir di ruang pandangnya. 

Tadinya acuh saja ketika Inova hitam itu menepi di depan warung. Biasa, tiap hari semua kedai atau resto yang ada di pinggir jalan menghadap Danau Toba, ramai disinggahi ragam kenderaan. Tempat yang lazim disebut PANATAPAN (tempat menatap ke Danau Toba), salah satu destinasi andalan Kota wisata Parapat. Selain posisinya strategis menikmati panorama alam, ada kawanan monyet menjadi nilai plus buat ditonton.

 Riko menyeruput kopinya sedikit demi sedikit sambil berpikir tujuh keliling setelah pertemuan dengan tiga pria yang tak dikenalnya sama sekali. Riko menyadari dirinya seorang bodoh yang diperdayakan segampang itu. Tadinya percaya orang itu pengusaha rekaman musik yang menawarinya bisnis rekaman. Di luar dugaan, justru ancaman yang mengejutkan. Riko tak menduga, kisah cintanya pada gadis Jakarta itu berbuntut liar. Dalam hitungan menit Riko bertanya-tanya di mana gerangan Nikana kini. Riko merasa kerinduan mendera hati, mengharubiru ruang khayalnya. Di mana dan bagaimana kabar Nika sekarang. Riko pun sudah beranjak berdiri mau membayar kopinya.

Lalu matanya melihat sosok gadis turun dari Inova hitam. Sosok gadis berkacamata hitam lebar itu mengundang perhatiannya, karena posturnya seperti Nikana. 

Nika menatap Riko tak berkedip.

Riko memperhatikan gadis itu, dan saat itulah jantungnya berdebar. Apa mungkin yang dilihatnya itu adalah Nika?

"Riko..."

Dari mana datangnya suara lembut yang memanggil namanya itu. Riko celingukan mencari dari arah mana datangnya suara memanggil barusan. Tak ada perempuan lain kecuali gadis bercelana jins yang turun dari Inova. 

Gadis itu mendekat, dan berdiri sekitar tiga meter di hadapannya.

Halusinasi?Atau, Mimpikah ini?

"Riko..."

Sekali lagi namanya dipanggil. Riko masih celingukan, memastikan sumber suara. Akhirnya ia menoleh mencermati gadis yang memandang ke arahnya. Riko terpana. Senyuman di bibir itu dan lesung pipi kecil yang tak asing baginya. Bukankah itu miliknya Nika?

Kerongkongannya  tersekat menyebut nama itu, ragu. 

"Nika...?"

"Rik..."

Nah itu dia. Gadis itu yang bersuara. Riko seakan terpelanting pada sebuah suasana mengharubiru tak terlukiskan. Riko melangkah mendekat. 

"Bagai dalam mimp ya Riko," terdengar suara sayup dari mulut Nika. Dia melepas kaca mata hitam itu. Riko makin terpana.

Tak perlu banyak kata lagi,keduanya saling dekap. Kenderaan yang lalu lalang di jalan raya tak dihiraukan. Dekapan melekat itu tak segera dilepas. Seakan sudah puluhan tahun tak bertemu.

Riko berbisik " Tak kusangka bisa lagi bertemu denganmu di sini Nika."

Nika membalas bisikan itu, lirih." Tak ada yang mustahil kan Rik, seperti dulu aku pernah katakan."

"Aku merindukanmu siang malam," kata Riko setelah melepas pelukan.

"Rinduku lebih menyiksa lagi," balas Nika. 

"Kamu makin cantik Nika,"

"Kamu juga tambah macho."

"Itu siapa di dalam mobil," Kata Riko menoleh ke Inova hitam.

"Dia Pak Sima, sang penolong yang membawaku kemari."

Riko tiba-tiba merasa tegang. Menyadari suatu bahaya. Diipegangnya tangan Nika." Sebaiknya kita tidak di sini lagi Nika, bisa bahaya."

"Aku tau," kata Nika tenang." Dan aku tidak takut sama siapapun, kecuali takut pada Bang Riko."

"Takut sama aku?"

"Ya, takut kita tak bertemu lagi, kalau kamu bertemu gadis lain."

Riko tersenyum. Senyum haru.

"Sekarang apa rencanamu Nik, jauh-jauh datang kemari."

Pendar-pendar haru,berbaur bahagia ada di wajah Nika. "Kita akan ke Jakarta. Papaku minta aku jemput kamu ke sini."

Riko senang mendengarnya, tapi juga galau. 

"Dan mamamu?" 

Nika tertunduk." Jangan pikirkan mamaku Bang Riko. Mamaku di penjara."

"Di penjara?" Riko heran.

"Panjang ceritanya Rik, sebaiknya kita pergi dulu dari tempat ini."

"Kita ke mana," tanya Riko.

" Ke Tuktuk."

"Ke Tuktuk?"

"Ya, aku mau refresing, pikiranku lagi kalut.l

Riko tak bertanya lagi. " Ya, kalau itu maumu,dengan senang hati."

Dalam beberapa menit berikutnya, Inova hitam itu meluncur menuju Parapat,menikung menuju pelabuhan feri di Ajibata.

* * * * *

Fortuner yang dikemudikan Dirgo sedang meluncur melewati Siantar ketika telepon genggam Tony berdering nyaring.

Yang menelpon itu Vera, mama Nika.

Tapi belum lagi Vera bicara, Tony dengan nada bangga mendahului. " Sudah beres nyonya, tanpa perlu kekerasan orang yang jadi target kita sudah kita kunci tak akan ada apa-apa lagi dengan anak nyonya."

Tapi jawaban nyonya Vera segera membuyarkan rasa bangga Tony.

" Bukan itu yang penting Toony. Kudengar Nika sudah ke Medan, pasti mau ketemu Riko. "

Tony tertegun.

"Jadi maksud nyonya?"

" Ya kalian ke sana dong, kalau terpaksa kalian bawa anak saya ke Jakarta." Jawaban Vera sangat tegas.

Tony menggaruk kepalanya." Baik nyonya, tapi sebenarnya kami yakin anak nyonya tak ada di sana. Kami sekarang posisinya sudah Jauh dari Parapat."

Jawaban Vera ketus, membuat Tomy sempat tersinggung, tapi ia menahan diri. 

"Aku yakin Nika sudah di Parapat, jangan-jangan sudah di Tuktuk, aku tak tau bagaimana itu Tuktuk. Mungkin kaliian selisih jalan atau waktu saja kali. Pokoknya aku tak mau tau caranya, kalian harus benar-benar serius mencegah anakku masih berhubungan   dengan anak kampung itu. Kalau terpaksa pakai cara kalian yang biasa kalian lakukan di Jakarta. Ingat lho, seratus juta Bukan sedikit, dan separuhnya lagi tinggal pencairan setelah kalian selesai."

Tony mengerutkan kening, berpikir. Mungkin juga Perempuan itu benar. Kalau betul Nika datang ke Parapat, siapa tau berselisih jalan. Tony pun tak kenal Nika. Tapi Dirgo bilang dia gadis cantikk wajahhnya selembut Yuni Sara.

Masih sekitar 20 kilometer lagi sebElum Kota Tebing Tinggi, Dirgo dan Ramli heran ketika tony berkata," Kita balikk lagi ke Parapat."

Ramli mau bertanya, tapi batal melihat wajah Tony muram.

Fortuner hitam itu memutar di pom bensin, balik arah ke Parapat

Saat itu sudah sore . Mobil Inova yang membawa Riko dan Nika sudah memasuki feri yang penuh muatan menuju Tomok.

"Yakin kamu ke Tuktuk lagi ya," tanya Riko di dalam feri.

Nika tersenyum, mengangguk. " Ya, sehari dua hari sebelum kita ke Jakarta."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun