Mohon tunggu...
Lnura
Lnura Mohon Tunggu... Guru - Eccedentesiast.

Menulis adalah caraku menyembuhkan rasa rindu padamu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pohoh-Pohon yang Bisu

5 Desember 2021   08:42 Diperbarui: 5 Desember 2021   08:50 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan kali ini tidak bersahabat. Dia menggugurkan banyak daun menembus derasnya air yang menyentuh tanah dan bebatuan di sepanjang jalan yang kupijaki tadi.  Pohon-pohon dengan dahan yang bergoyang hebat didera angin dan air yang jatuh menggigilkan tubuh-tubuh yang bersembunyi dirimbunnya daun yang tak pelak mulai meneteskan setitik demi setitik.

"Dingin?" tanyanya.

"Sedikit" jawabku.

Tangannya mulai melingkari pinggangku. Sedang yang satu menggenggam jemari yang mulai membeku. Pada hujan, kita menautkan jari menghadirkan kehangatan yang semu.

"Lihat mereka berdua," bisik selembar daun yang hampir jatuh pada ranting tempatnya melekat.

"Biarkan saja," jawab daun yang lain.

"Mereka sedang dimabuk asmara," jawab daun yang lainnya.

"Tapi sungguh kasihan mereka," kata ranting menimpali daun-daun yang masih membisikkan tentang dua orang yang menggigil di bawah pohon.

Daun-daun itu tetap berbisik. Bisikan yang kudengar dalam desau air yang menghujam hatiku.

            "Masih dingin?" tanyanya lagi.

            "Masih," kujawab singkat.

Bukan lagi tangannya yang melingkar padaku. Tubuhnya mulai dia  rapatkan dan aroma yang sudah menjadi candu semakin menjadi candu buatku.

            "Hangat?" tanyanya kembali.

Aku tak menjawab. Semakin kueratkan dekapannya pada tubuhku yang mulai menggigil. Aliran listrik mulai bermunculan seperti kilat. Memberikan hentakan-hentakan pada jantung yang semakin tak karuan detaknya.

            "Jangan menangis," katanya.

Isak mulai bersuara di antara desahan nafasku yang memburu. Entah karena aliran listrik yang mulai meningkat tegangannya atau karena hujan yang semakin menghadirkan gigil yang hebat.

            "Jangan pergi lagi," bisikku pada telinganya.

            "Tidak, aku tidak akan pergi sendiri lagi," jawabnya.

            "Benarkah?" tanyaku lagi.

            "Ya," singkat jawabnya.

Pelukannya semakin erat dengan desahan nafas yang juga mulai memburu jatuh di pucuk telingaku.

            "Ikutlah bersamaku," ucapnya di antara hujan yang mulai deras.

            "Kemana?" tanyaku kemudian.

Bukan jawaban yang kuterima tetapi dekapan yang semakin erat. Sesak yang kurasa. Bukan dadaku. Tetapi pada yang ada di dalamnya.

------

"Hei..." sapanya suatu sore di sebuah caf yang menghadap pantai.

Aku menoleh padanya. Sebuah wajah yang tak asing. Wajah yang tetap melekat meski hingga 120 purnama kulewati sendiri.

 

"Sendirian?" tanyanya.

Aku menganggukkan kepalaku sebagai isyarat mengiyakan tanyanya.

Kami duduk berhadapan menikmati hari dengan langit keemasan menyilaukan. Ombak pun mulai gelisah menghantam bebatuan. Buih-buih itu seperti berlomba mencium pasir-pasir yang berserakan di bibir pantai dan menyeretnya kembali ke dalam pelukan.

Ini adalah pertemuan kali pertama sejak 10 tahun yang lalu. Tahun di mana dia menyematkan sebentuk hati pada jari manisku. Buatku, hati itu tetap ada meski dia lupa bahwa ada yang sudah dia titipkan padaku. Ya, dia lupa. Karena setelah itu, dia menghilang tanpa berita dan tanpa melepaskannya.

"Kamu sendirian pula?" tanyaku di antara deburan ombak yang mulai meninggi.

"Ya," singkat saja jawabnya. Asap yang mengepul di antara jarinya membentuk samar hatinya.

Matanya melirik pada jemariku. Mungkin dia melihat hatinya masih kuikat di situ.

Kulihat gelisah pada matanya.

"Tak usah merasa bersalah. Aku yang bodoh," kataku memecah kegelisahan yang ada.

"Maafkan aku," ucapnya.

"Aku tak bisa menolaknya waktu itu. Karena budi aku terjebak," lanjutnya.

"Sudahlah. Duniaku tidak memerlukan pembelaanmu. Aku masih menyimpannya karena untukku ini adalah hal yang istimewa," jelasku sembari mengelus sekeping hati yang masih melingkar di jari.

"Masih bisakah aku memilikimu?" tanyanya.

"Hatiku tetap menjadi milikmu meskipun tidak dalam kenyataanya," jawabku.

"Aku sudah melewatkan banyak hal dan rasanya sakit sekali," ucapnya dengan tertunduk.

Sinar keemasan tiba pada netraku. Menyilaukan dalam kehangatan.

"Izinkan aku meminta sedikit saja senyummu. Sedikit saja," pintanya.

Nafasnya sedikit tersengal di antara butiran yang mulai jatuh perlahan.

Ya, lelaki yang menderita. Bukan hanya aku, tetapi dia pun sama.

Setelah senja itu, hadir senja-senja selanjutnya. Hingga tanpa aku sadari, tali kekang sudah menjerat leherku. Aku terkendali oleh candu. Ya, candunya.

-----  

"Aku pergi," sebuah suara memecah keheningan di ruangan megah dengan barisan porselen yang mengkilap.

"Pergilah. Tetapi, setidaknya bawalah bekal yang sudah kusiapkan," jawab suara yang lain.

"Aku tetap menunggumu di rumah sampai kamu bosan berada di luar," lanjutnya.

"Tak usah kamu tunggu. Karena buatmu ada dan tidak adanya aku sama saja," sanggahnya.

"Pergilah. Waktumu begitu berharga untuk sesuatu yang kau anggap berharga dalam hidupmu. Tetapi bukan aku,"

Terdengar pintu tertutup dan beberapa detik kemudian suara anak kunci diputar mengikutinya.

-----  

"Hujan," bisiknya pada telingaku hari ini.

Dekapan yang menghangatkan kudapatkan darinya. Mengusir gigil yang tiba. Sesak mulai tiba di antara sengal satu-satu. Kudapati tubuhnya pun mulai menegang dengan sengal yang sama punyaku. Dia mengeratkan pelukannya pada tubuhku. Nafasnya mulai memanas di cuping telingaku. Desahan yang seperti menuju kematian. Hal sama kulakukan padanya. Kueratkan pelukan dengan menautkan jariku pada punggungnya. 

"Aku mencintaimu sampai matiku," ucapnya.

"Aku mencintaimu sampai matiku," jawabku.

Kami terduduk dalam sengal yang tinggal satu-satu. Hujan yang datang bersama petir menyentuh tanah basah tempat kami berpijak. Dalam dekapan yang nyata kami beradu candu meski hanya sesaat saja. Karena malam telah datang dan tak pernah lagi menuju pagi yang terang.

"Matilah kamu dengan cintamu," desau angin berbisik pada daun-daun trembesi yang menitikkan airnya satu-satu.

"Matilah kamu," ulangnya lagi.

Hentakan kaki pada akar yang lahir ke muka bumi menandakan merdekanya hati.

-----  

"Lihatlah ke sini!" sebuah teriakan mengangetkan daun-daun yang masih terlelap di pagi yang berkabut.

"Apakah ini yang kamu cari?" sebuah tanya terlontar dari seorang laki-laki berseragam.

Perempuan semampai nan cantik bersepatu runcing mengatupkan sepuluh jarinya pada mukanya. Hanya sedikit saja resah yang dia nampakkan.

"Uruslah mereka. Bagiku mereka bukan siapa-siapa" jelasnya. Lalu dia pergi tanpa memberi tanda.

"Dia menangis semalaman di sini," bisik daun trembesi pada rantingnya.

"Ya, aku tahu. Dia menangisi kebodohan yang dia miliki," jawab daun yang lain.

"Dia buta. Buat apa mencintai laki-laki yang jelas memilih pergi. Sungguh bodoh," cecar daun-daun mulai berisik.

"Tapi dia pandai berperan. Lihatlah, dia tegar setelah semalaman menangis bersama hujan. Dia tidak hengkang sedikit pun sampai nafas mereka sengal satu-satu," sebatang dahan menjelaskan.

"Kita tahu apa yang dia lakukan. Tapi biarlah. Kita akan tetap membisu karena kita tidak segila dia," daun yang hampir jatuh berbicara.

"Ingat, jangan bicarakan apa yang kita lihat semalam atau kalian akan poranda mencium tanah," pesannya.

Lalu dia terbang. Sepi. Angin pagi menggoyangkan daun-daun. Butiran kristal ikut berjatuhan.

Di bawah  pohon yang lain, dua raga berdekapan lara.

Rangkasbitung, Agustus 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun