"Kemana?" tanyaku kemudian.
Bukan jawaban yang kuterima tetapi dekapan yang semakin erat. Sesak yang kurasa. Bukan dadaku. Tetapi pada yang ada di dalamnya.
------
"Hei..." sapanya suatu sore di sebuah caf yang menghadap pantai.
Aku menoleh padanya. Sebuah wajah yang tak asing. Wajah yang tetap melekat meski hingga 120 purnama kulewati sendiri.
Â
"Sendirian?" tanyanya.
Aku menganggukkan kepalaku sebagai isyarat mengiyakan tanyanya.
Kami duduk berhadapan menikmati hari dengan langit keemasan menyilaukan. Ombak pun mulai gelisah menghantam bebatuan. Buih-buih itu seperti berlomba mencium pasir-pasir yang berserakan di bibir pantai dan menyeretnya kembali ke dalam pelukan.
Ini adalah pertemuan kali pertama sejak 10 tahun yang lalu. Tahun di mana dia menyematkan sebentuk hati pada jari manisku. Buatku, hati itu tetap ada meski dia lupa bahwa ada yang sudah dia titipkan padaku. Ya, dia lupa. Karena setelah itu, dia menghilang tanpa berita dan tanpa melepaskannya.
"Kamu sendirian pula?" tanyaku di antara deburan ombak yang mulai meninggi.