----- Â
"Hujan," bisiknya pada telingaku hari ini.
Dekapan yang menghangatkan kudapatkan darinya. Mengusir gigil yang tiba. Sesak mulai tiba di antara sengal satu-satu. Kudapati tubuhnya pun mulai menegang dengan sengal yang sama punyaku. Dia mengeratkan pelukannya pada tubuhku. Nafasnya mulai memanas di cuping telingaku. Desahan yang seperti menuju kematian. Hal sama kulakukan padanya. Kueratkan pelukan dengan menautkan jariku pada punggungnya.Â
"Aku mencintaimu sampai matiku," ucapnya.
"Aku mencintaimu sampai matiku," jawabku.
Kami terduduk dalam sengal yang tinggal satu-satu. Hujan yang datang bersama petir menyentuh tanah basah tempat kami berpijak. Dalam dekapan yang nyata kami beradu candu meski hanya sesaat saja. Karena malam telah datang dan tak pernah lagi menuju pagi yang terang.
"Matilah kamu dengan cintamu," desau angin berbisik pada daun-daun trembesi yang menitikkan airnya satu-satu.
"Matilah kamu," ulangnya lagi.
Hentakan kaki pada akar yang lahir ke muka bumi menandakan merdekanya hati.
----- Â
"Lihatlah ke sini!" sebuah teriakan mengangetkan daun-daun yang masih terlelap di pagi yang berkabut.