BRANDON
Begitu mata pelajaran terakhir selesai, aku langsung pulang. Seperti biasa, ketika tidak ada jadwal latihan basket, diri ini lebih memilih pulang ke rumah. Terkadang Mama sering mengajak keluar lagi berbelanja. Beliau seperti wanita kebanyakan, gemar shopping dan jalan-jalan di mall.
Saat motor memasuki pekarangan, aku melihat Mama sedang duduk di teras depan rumah. Beliau tampak memandangi berbagai jenis bunga yang kini sedang tumbuh mekar. Mama memang senang dengan tanaman, sehingga rumah menjadi rindang dan asri.
"Anak Mama sudah datang," sambut Mama setelah aku memarkir motor di luar. Sengaja tidak memarkirnya di garasi, agar bisa digunakan lagi jika ingin bepergian nanti.
Aku langsung memeluk Mama seperti biasa, lantas memberi kecupan di pipinya bergantian.
"Pengin cepat pulang, hari ini nggak ada latihan basket," sahutku.
Sesaat aku ingat ponsel ini bergetar ketika dalam perjalanan pulang. Segera kukeluarkan dari saku celana melihat apakah ada pesan penting? Barangkali ada cewek yang menghubungi dan mengajak keluar sore ini. Hehe!
Pandangan fokus melihat sebuah pesan masuk di aplikasi BBM. Pengirimnya Arini Maheswari. Sesaat kening ini berkerut berusaha mengingat nama si Pengirim.
"Si Kutilangdara?" gumamku pelan sambil membuka pesan tersebut.
"Kenapa, Bran?" tanya Mama dengan raut bingung.
Aku menggelengkan kepala dengan pikiran fokus melihat pesan yang dikirimkan si Kutilangdara.
Arini Maheswari: SOS, gue dikurung Chibie di atap.
"Chibie," geramku sambil mengeratkan genggaman di ponsel.
"Ada apa?" tanya Mama lagi.
"Aku harus balik ke sekolah, Ma. Ada yang butuh pertolongan," jawabku melangkah menuju motor.
Aku mencoba menghubungi si Kutilangdara, namun tidak berhasil. Sepertinya handphone cewek itu mati.
"Hati-hati," teriak Mama sebelum aku meninggalkan halaman rumah.
Segera kupacu motor kesayangan kembali ke sekolah yang jaraknya cukup jauh. Beruntung hari masih siang, sehingga jalanan belum macet. Jika saja sekarang pukul 17.00, pasti akan sulit bagiku sampai di sana secepatnya.
Tidak sampai sepuluh menit, akhirnya tiba di halaman sekolah. Aku langsung turun dari motor dan bergegas menuju gedung, khawatir jika penjaga sudah mengunci pintu masuk.
"Jangan dikunci, Pak!" cegahku kepada penjaga sekolah ketika ingin mengunci pintu masuk gedung.
Beliau menoleh dan melihatku bingung. "Ada yang ketinggalan, Mas Brandon?"
"Saya mau masuk sebentar, Pak. Teman saya terjebak di atas atap," jelasku tidak tenang.
"Maksudnya, Mas?"
"Ada yang sengaja mengunci teman saya di atap. Saya harus naik sekarang, Pak."
"Cepat ya, Mas. Saya ada perlu juga," teriaknya sebelum aku naik ke lantai empat.
Kaki terus berlari menaiki anak tangga menuju lantai empat. Jangan ditanya lagi bagaimana keringat sekarang, sudah pasti bercucuran. Jantung semakin berdetak tak karuan, merespons rasa cemas dan kaki yang terus menaiki tangga. Napas mulai sesak ketika tiba di lantai tiga. Aku tidak lelah, hanya saja khawatir yang mendominasi membuat jantung dan napasku menjadi tak karuan.
Aku menarik napas panjang sebelum membuka kunci pintu berwarna abu-abu itu. Bayangan yang tidak-tidak hinggap di pikiran, khawatir si Kutilangdara pingsan karena kepanasan dan dehidrasi. Meski kerap bersikap dingin, namun aku bukanlah pria yang tidak berperasaan. Diri ini masih bisa merasakan empati terhadap sesama.
Ceklek!
Pandanganku langsung beredar menyapu seluruh area atap gedung. Tak lama terdengar suara isakan tak jauh dari pintu berada. Aku langsung menoleh ke tempat sumber suara tersebut.
Tampak seorang gadis mengenakan pakaian Pramuka sedang duduk dengan kaki ditekuk dan kening menempel di tangan yang berada di atas lutut. Dia sedang menangis seperti ketakutan.
"Lo nggak pa-pa?" Aku langsung memegang bahu si Kutilangdara.
Perlahan kepalanya terangkat. Matanya sedikit bengkak, ingus belepotan di pinggir pipi dan hidung merah seperti badut. Dia kini menangis sejadi-jadinya. Aku mendesah sambil mengeluarkan sapu tangan dari saku, lantas membersihkan air mata dan ingusnya.
"Gue pikir lo nggak ke sini," ucapnya di sela isakan. "Gue pikir bakalan nginap di sini sampai besok pagi. Gue takut banget. Gue---"
Aku langsung menariknya ke dalam pelukan, setidaknya inilah yang dibutuhkan seseorang ketika berada dalam situasi seperti ini. Kalian jangan berpikiran aku mencuri kesempatan, memeluk anak gadis orang. Sungguh, diri ini tidak tega melihat si Kutilangdara berada dalam kondisi begini. Apa yang dilakukan Chibie sudah keterlaluan. Lihat saja apa yang akan kulakukan terhadap mereka besok.
"Ssst ... tenang. Ada gue di sini dan lo nggak bakalan nginap di atas atap," bisikku sambil menepuk pelan punggungnya.
Tubuhnya bergetar hebat mungkin karena ketakutan. Aku melonggarkan pelukan, lantas menyeka lagi air mata yang kembali mengalir di pipi tirusnya.
"Nanti aja nangisnya. Sekarang kita turun dulu, kalau nggak beneran dikunci di sini sama penjaga."
Aku membantunya berdiri.
"Sebentar! Kaki gue kram," ucapnya.
Kami tidak memiliki banyak waktu, khawatir jika penjaga benar-benar mengunci pintu gedung ini. Aku langsung menekuk lutut dan menepuk pundak ini.
"Naik ke punggung gue," suruhku.
Si Kutilangdara bergeming.
"Ayo naik atau kita beneran bakal terkurung di gedung ini," tuturku dengan suara meninggi.
Tak lama sepasang tangan melingkar di bawah leherku bersamaan dengan seonggok badan berada tepat di punggung. Aku langsung berdiri ketika tubuh ringannya kini sudah bergelayut di tubuh belakangku. Segera dilangkahkan kaki menuruni anak tangga, meski sebenarnya tungkaiku sedikit sakit karena menaiki tangga sambil berlari tadi.
"Sorry ya jadi ngerepotin lo," bisiknya tepat di telinga membuatku sedikit merinding.
"Hmmm ...." tanggapku. "Rumah lo di mana? Biar gue anterin pulang."
"Gue nggak mau pulang sekarang, takut nanti keluarga lihat kondisi gue sekarang."
Benar juga, tampangnya sekarang kusut sekali.
"Trus lo mau diantar ke mana?"
"Gue di dekat gerbang aja, entar kalau udah stabil baru pulang."
Apa? Meninggalkannya di pinggir jalan? No, jiwa lelakiku memberontak. Tidak ingin meninggalkan perempuan sendirian di sana. Apalagi kondisinya sekarang sedang tidak baik-baik saja.
"Kalau gitu ikut gue. Jangan banyak tanya. Gue nggak akan macam-macam kok sama lo."
"Ke mana?" tanyanya ketika kami sudah berada di lantai dasar.
Aku menurunkannya. Tidak enak juga jika ada yang melihat, bisa salah paham nanti.
"Udah bisa jalan, 'kan?" Aku malah balik bertanya setelah melihat kakinya sudah bisa berdiri tegak.
Si Kutilangdara menganggukkan kepala sambil tersenyum samar.
"Emang lo mau ngajak ke mana?" Dia menatap sendu membuatku semakin tidak tega melihatnya seperti ini.
"Ke suatu tempat yang aman dan bisa bikin lo tenang. Ikut aja deh. Percaya gue nggak akan macam-macam sama lo," paparku mencoba meyakinkan.
 Dia hening mungkin sedang berpikir sembari terus melangkahkan kaki ke luar gedung.
"Sudah, Mas?" Penjaga langsung menghampiri ketika melihat kami keluar dari gedung.
"Udah nih, Pak. Sudah ketemu," sahutku.
"Kok bisa terkunci di atas atap sih, Mbak?" Penjaga paruh baya itu memandangi si Kutilangdara dengan kening berkerut.
"Tadi terjadi sesuatu, jadinya nggak sengaja terkunci. Tolong jangan bilang siapa-siapa ya, Pak," pintaku kepada penjaga.
Beliau menganggukkan kepala.
"Pak, ada helm yang bisa dipinjam nggak? Besok pagi saya balikin."
"Ada, Mas. Sebentar ya." Pak Penjaga bergegas menuju pos sekuriti.
"Emang kita mau ke mana?" Si Kutilangdara belum menyerah ternyata.
"Ada deh, pokoknya lo ikut aja. Trust me! Gue nggak akan bawa lo ke tempat aneh-aneh kok."
Penjaga datang menyerahkan helm. Aku meminta si Kutilangdara memasangkannya. Dia menurut, artinya mau ikut denganku. Setelah itu kami menaiki motor. Dalam hitungan detik motor sudah meninggalkan pekarangan sekolah, menuju satu-satunya tempat yang bisa dikunjungi sekarang. Gadis yang ada di balik punggungku ini, membutuhkan sentuhan lembut seseorang yang bisa menenangkan.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H