"Saya mau masuk sebentar, Pak. Teman saya terjebak di atas atap," jelasku tidak tenang.
"Maksudnya, Mas?"
"Ada yang sengaja mengunci teman saya di atap. Saya harus naik sekarang, Pak."
"Cepat ya, Mas. Saya ada perlu juga," teriaknya sebelum aku naik ke lantai empat.
Kaki terus berlari menaiki anak tangga menuju lantai empat. Jangan ditanya lagi bagaimana keringat sekarang, sudah pasti bercucuran. Jantung semakin berdetak tak karuan, merespons rasa cemas dan kaki yang terus menaiki tangga. Napas mulai sesak ketika tiba di lantai tiga. Aku tidak lelah, hanya saja khawatir yang mendominasi membuat jantung dan napasku menjadi tak karuan.
Aku menarik napas panjang sebelum membuka kunci pintu berwarna abu-abu itu. Bayangan yang tidak-tidak hinggap di pikiran, khawatir si Kutilangdara pingsan karena kepanasan dan dehidrasi. Meski kerap bersikap dingin, namun aku bukanlah pria yang tidak berperasaan. Diri ini masih bisa merasakan empati terhadap sesama.
Ceklek!
Pandanganku langsung beredar menyapu seluruh area atap gedung. Tak lama terdengar suara isakan tak jauh dari pintu berada. Aku langsung menoleh ke tempat sumber suara tersebut.
Tampak seorang gadis mengenakan pakaian Pramuka sedang duduk dengan kaki ditekuk dan kening menempel di tangan yang berada di atas lutut. Dia sedang menangis seperti ketakutan.
"Lo nggak pa-pa?" Aku langsung memegang bahu si Kutilangdara.
Perlahan kepalanya terangkat. Matanya sedikit bengkak, ingus belepotan di pinggir pipi dan hidung merah seperti badut. Dia kini menangis sejadi-jadinya. Aku mendesah sambil mengeluarkan sapu tangan dari saku, lantas membersihkan air mata dan ingusnya.