"Tutup mata lo, jangan ngintip dan jangan ambil kesempatan!"
"Tenang. Gue nggak bakalan ngintip, rugi lihatin jalanan lurus nggak ada keloknya," ledekku sambil memutar bola mata malas.
Aku memalingkan kepala ke arah lain dengan mata terpejam, hingga si Kutilangdara selesai membuka seragam atasnya. Perlahan terasa dia mengambil jaket. Segera kuputar tubuh ke belakang dan beranjak menuju bangku yang ada di atas atap.
Tidak lama kemudian, si Kutilangdara sudah duduk di sampingku setelah membentangkan atasan seragam yang basah.
"Thanks ya udah tolongin gue," ucapnya setelah hening di antara kami.
"Hmmm ... Jangan salah paham. Gue nggak nolong lo cuma---"
"Gue tahu kok. Lo udah bilang kemarin. Nggak boleh ada yang intimidasi gue, kecuali lo di sekolah ini," sela si Kutilangdara mulai menunjukkan tingkat kecerdasan otaknya.
Aku hanya mengangguk sekali, setelah itu melihat langit cerah di tengah kota Metropolitan ini.
"Lo balik ke kelas aja gih," suruhnya.
"Males, habis ini mata pelajaran Matematika. Biar bolos sekalian," tanggapku.
Sepertinya ini pertama kali bagi kami berinteraksi tanpa perang urat. Si Kutilangdara tertawa pelan membuatku menoleh ke arahnya. Ternyata dia membuka ikat rambut, sehingga rambut hitam panjang tergerai indah hingga ke pinggang. Mungkin karena rambutnya juga basah, jadi dibiarkan seperti itu sebentar.