Aku membalas sapaannya. Tanganku terjulur, membantu Ayah berdiri.
Yeeeay, aku bisa lebih santai pagi ini. Sabtu dan Minggu jadi hari kemerdekaanku. Dalam dua hari ini, aku tak perlu repot menyiapkan materi pelajaran atau mengetik soal Ms-Word khusus untuk Silvi. Aku bisa bercengkerama sepuasnya dengan Ayahku.
"Ayah mau sarapan apa? Bubur? Roti panggang? Wafel? Nasi goreng?" Kusebutkan berbagai pilihan.
"Terserah Jeany," jawab Ayah lembut. Kutebak Ayah kehilangan selera makan karena penyakitnya.
Kuputuskan membuat wafel. Ketika aku tengah sibuk mengaduk adonan, tanpa diduga Ayah mengambil alih tugasku. Pria dengan apron putih itu membantuku menyiapkan sarapan.
"Jangan, Ayah istirahat aja. Ayah masih sakit," cegahku.
"That's what fathers are for."
Nada suara Ayah seolah finalitas. Kalau sudah begitu, Ayah enggan berdebat. Kubiarkan saja Ayah memproses adonan wafel dan memanggangnya.
Ting tong
Aku menoleh begitu mendengar dering bel pintu. Siapa yang bertamu pagi-pagi begini? Pastinya bukan pengantar susu atau para ibu yang belajar membuat makanan kecil denganku, ini akhir pekan, mylove. Kutinggalkan dapur dan berjalan ke aula.
Perjalanan dari dapur ke aula serasa bermil-mil panjangnya. Kenapa juga Ayah harus membeli rumah sebesar ini? Ruang tamunya saja disebut aula saking luasnya. Aku sampai di aula dan membuka gerendel pintu utama yang berat.