Ayah hanya tersenyum. Diangsurkannya gelas kristal itu ke tanganku. Aku menerima gelas itu dan menyesapnya.
Hangat.
Kehangatan menjalari kerongkonganku. Perlahan tapi pasti, hangat itu turun ke dada dan perutku.
"Terima kasih, Ayah."
Lagi-lagi Ayah membalas ucapanku dengan senyum khasnya. Kupikir Ayah akan kembali ke kamarnya di lantai bawah setelah membuatkan coklat hangat untukku. Asumsiku meleset. Pria berparas oriental itu mengenyakkan diri di kursi sebelah kursi putar yang tadi kududuki.
"Belum selesai ya, Jeany? Mau Ayah bantu?" tawarnya halus.
Aku menggeleng seraya melepas tawa merdu. Tahu apa Ayah soal Listening Comprehension untuk Toefl Preparation? Ayah berkata seolah isi hatiku terbaca olehnya.
"Jangan salah. Ayah masih ingat kok sedikit-sedikit."
"Nggak usah, Ayah. Aku lagi nggak koreksi jawaban anak-anak. Aku barusan bikin laporan hasil prestasi belajar selama sebulan. Trendnya rata-rata naik, walaupun kelas daring."
Ayah manggut-manggut. Diraihnya laporanku yang terjilid rapi. Sepasang mata sipitnya bergulir cepat dari kiri ke kanan membaca laporan itu.
Kutatap lekat wajah Ayah. Sekali lihat, orang sulit percaya bahwa Ayah sudah lanjut usia. Paras wajah yang rupawan, rambut yang belum memutih, dan kerut yang belum muncul menjadikan tampilan fisiknya seperti pria awal tiga puluhan. Namun, jika diperhatikan lebih teliti, tak ada pria awal tiga puluhan sepucat Ayahku. Ketuaan tercermin dari rona pucatnya.