"Pertiwi Dinda Yuliana, aku mencintaimu."
Bukan ucapan maaf sebagai respon. Hanya ungkapan cinta. Calvin memberi Tiwi pelukan hangat. Tak sia-sia ia kembali dari rumah sakit di hari yang katanya hari kemenangan ini.
Silvi melangkah maju. Dalam gerakan anggun, gadis berambut panjang itu berlutut di depan Calvin. Menciumi tangan ayahnya. Menangkupnya ke pipi.
"Silvi minta maaf. Pasti Silvi banyak bikin Ayah susah," ucapnya datar. Sinar mata Silvi berbanding terbalik dengan nada suaranya.
"Ayah juga minta maaf, Sayangku. Ayah kadang tinggal-tinggal Silvi. Tapi Ayah nggak akan pernah pergi terlalu lama."
Silvi menatap Calvin penuh cinta. Mata biru bertemu mata sipit. Tiwi menyaksikan dengan perih menyayat. Kelakuan Silvi dan Calvin lebih mirip sepasang kekasih tenimbang ayah dan anak.
"Bunda..." panggil Silvi pelan.
"Ya, Sayang?"
"Maaf. Bunda, aku jatuh cinta pada Ayah."
Nyaris saja Tiwi terjungkal dari sofa. Ia membelalak menatap Silvi. Silvi, putri yang ia sayangi sepenuh hati, yang ia biarkan menempel erat dengan Calvin, yang ia masakkan menu masakan Barat sebab ia paham selera anak itu, jatuh cinta pada suaminya?
"Benarkah?" bisik Tiwi parau. Tangan yang mencengkeram punggung kursi memutih.