Tak heran bila sebagian besar baju Silvi berlengan panjang. Selalu saja ia berdalih pada Bunda Manda kalau dia suka baju yang lengannya menutup rapat. Padahal itu semata untuk menutup baret-baret luka.
Tak pernah luka Silvi separah itu sebelumnya. Silvi jarang mengobati luka. Luka-luka itu akan sembuh dengan sendirinya.
Tapi kini...
Torehan besar memanjang bertransformasi menjadi balon. Blon yang memberati kaki Silvi. Membuat pemiliknya hanya bisa berbaring di ranjang.
Dicobanya mengangkat kaki. Sakit, amat sakit. Kaki yang pernah ditertawakan teman-temannya. Saat itu, tak sengaja rok seragam sekolahnya tersingkap sedikit. Mereka melihat kaki Silvi dan mengejeknya. Bahkan salah seorang teman tega membandingkan kaki Silvi yang penuh luka dengan kaki anak lain yang lebih mulus.
Sikap penolakan sebagian besar teman sekolahnya pula menjadi alasan lain Silvi terus melukai diri. Tercabik perasaan tak diterima, gadis kesayangan Bunda Manda itu kian ganas menggurat luka. Luka-luka di tangan dan kakinya bertambah. Dan balon merah berdarah itulah klimaksnya.
Kala mata Silvi hampir terpejam, didengarnya deru mobil. Itu pasti mobil Ayah Calvin. Telinganya sudah hafal deru lembut mobil Ayahnya.
Jika kedua kakinya sehat, Silvi bakal berlari ke pintu depan. Tak bisa dia melakukannya lagi. Alih-alih membukakan pintu, Silvi menangis.
"Ayaaaah...Bundaaaaaaa!" jerit Silvi keras-keras. Teriakannya bercampur tangis.
Derap langkah dua pasang kaki adu cepat. Dalam hitungan detik, Ayah Calvin dan Bunda Manda menghambur masuk ke kamar Silvi.
"Silvi, ada apa, Sayang?" tanya Bunda Manda terengah.