Panas. Dingin. Suhu badannya memanas, tetapi yang dirasakannya sangat dingin. Silvi terbaring menelentang di ranjang. Merasa aneh dengan tubuhnya.
Tubuh yang membunyikan sinyal pertanda. Pertanda untuk berhenti menyakiti diri. Mungkinkah efek terpapar tetes-tetes hujan? Rasanya tidak. Silvi terbiasa bermain hujan. Dia takkan sakit hanya karena langit menitikkan air mata.
Rasa panas dan dingin yang menjalari sekujur tubuhnya bukan karena kehujanan. Pada saat bersamaan, kakinya berdarah. Pedih menyengat sepasang kaki mungil itu. Benar, ini bukan sakit biasa.
Sekuat tenaga Silvi bangkit dari kasur. Mengapa kakinya susah bergerak? Tiap kali bergerak, sakitnya luar biasa. Diseretnya kaki menuju kamar mandi.
Air dingin mengguyur tubuh bagian atas. Di sini tak ada water heater. Silvi hampir beku rasanya. Jarum jam hampir menyentuh angka enam saat gadis kecil itu selesai mandi.
Azan Maghrib bersahutan, susul-menyusul dari satu masjid ke masjid lainnya. Mushala kecil di ujung kompleks tak mau kalah menyerukan syair Tuhan. Kali ini, Silvi tak kuat lagi. Ia ambruk di tempat tidur. Kakinya amat sakit tiap kali digerakkan.
Pandangannya memburam. Seperti ada jendela dengan lubang kecil terpasang di mata. Jendela kecil itu berulang kali bergetar. Satu-dua kali Silvi menyeka mata, berusaha menjernihkan pandangan.
Tubuh yang dicambuk demam. Kaki sulit bergerak. Dan jendela membingkai pandangan mata. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Tuhan, maafin Silvi." Gumamnya berulang-ulang. Merasa bersalah karena tak bisa berdoa dengan cara normal. Silvi shalat Maghrib sambil duduk.
"Tuhan, sebenarnya Silvi kenapa?"