Baju belepotan tepung. Tangan berlumur vanili. Meja dapur dijejali campur-aduk antara sayuran, daging, dan bahan kue. Dapur menyerupai kapal Stimsum yang baru tenggelam di Life of Pi. Sekacau itulah pemandangan di sekeliling Bunda Manda.
Sore ini, ia mesti menyelesaikan sejumlah pesanan katering. Bukan hanya katering, tetapi juga orderan membuat kue untuk beberapa acara. Jewelry sibling memesan lima puluh porsi untuk meeting. Ketua lingkungan menagih Bunda Manda untuk segera membereskan pesanan konsumsi kegiatan di balai pertemuan. Seorang ibu bergaya mirip sosialita membuat Bunda Manda berjibaku dengan waktu gara-gara pesanan kue untuk acara kumpul-kumpul ala 'sosialita'nya. Beberapa teman sesama wali murid meminta Bunda Manda membuatkan bekal buat anak mereka. Hetic, satu kata yang tersemat di kepala untuk menggambarkan kerepotan yang terjadi.
Pesawat telepon model lama di ruang tengah berdering. Kontan Bunda Manda memijit pelipisnya. Perlukah diangkat? Siapa tahu itu pesanan baru. Tapi, mana bisa mengangkat telepon dengan tangan kotor? Dimanakah Silvi dan Ayah Calvin?
Ayah Calvin? Bunda Manda tertawa dalam hati. Sejak kapan ia membutuhkan suaminya? Toh ia sudah terbiasa dengan absennya pria itu.
Telepon terus berdering. Tak punya pilihan, Bunda Manda berlari ke ruang tengah. Jemarinya yang dilumuri vanili menyambar gagang telepon.
"Halo?" sapanya tergesa.
"Halo Bu Manda." Terdengar suara centil di ujung sana.
"Saya mau bikin Coto Makassar. Suami saya tuh yang minta. Heran, dia kayak orang ngidam aja. Bagi dong resepnya."
Kalau mengeluarkan sumpah dan makian dibolehkan, sudah tentu akan ia lakukan. Benar-benar telepon tak penting. Bukannya Bunda Manda pelit berbagi resep. Tapi, jangan sekarang juga kan? Pekerjaannya di dapur menumpuk.
Setengah hati Bunda Manda berbagi resep. Menyebutkan bahan dan cara membuat Coto Makassar yang telah tamat dihafal luar kepala. Setelah memuaskan temannya yang genit itu, ia bergegas balik ke dapur.