Sementara Ayah Calvin mengenang, mata Bunda Manda menerawang. Teringat kencan pertama mereka. Kala itu, Bunda Manda berumur 15 tahun dan Ayah Calvin 30 tahun. Bayangkan, seorang pria matang mengencani gadis kelas X. Tangan takdir pertama kali mempertemukan mereka di restoran. Ayah Calvin pelanggan tetap salah satu cabang resto milik Opa Hilarius.
Tak mudah bagi Opa Hilarius dan Oma Hillary untuk mempercayai Ayah Calvin. Mereka takut putri tunggal mereka diculik. Nyatanya, Ayah Calvin tak menyalahgunakan kepercayaan mereka. Dia datang tepat waktu, membawa Bunda Manda dinner, lalu mengantarnya pulang kembali dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun.
"Manda, aku ingin memberi tahumu sesuatu."
Suara bass Ayah Calvin menghempaskan Bunda Manda dari kaki langit kenangan. Terasa genggaman hangat sepasang tangan.
"Tadi siang Silvi tersesat. Dia salah naik bus. Makanya anak itu pulang terlambat."
Brussh!
Vanilla blue yang baru separuh jalan ditelan kini terhambur keluar. Malu bercampur kaget, buru-buru Bunda Manda meraih tissue. Membersihkan meja yang terkena tumpahan minuman.
"Lalu kubujuk anak kita untuk homeschooling. Silvi setuju. Manda, aku takkan memaksamu pindah ke White Mansion. Aku pun akan tetap tinggal di rumah Papa Hilarius bersamamu dan Silvi. Tapi kumohon, izinkan Silvi homeschooling. Beri aku kesempatan untuk menjadi ayah dan gurunya."
Bongkahan es yang menutup permukaan hati Bunda Manda mencair. Terpaksa dia mengakui kalau Ayah Calvinlah yang terbaik untuk Silvi. Pria mana pun yang pernah dekat dengannya tidak ada yang memahami Silvi sebaik Ayah Calvin memahaminya. Kepentingan Silvi jauh lebih urgen dibanding kepentingannya sendiri. Baiklah, Silvi memang butuh Ayahnya.
"Kau...kau paling mengerti putriku." Bunda Manda tergagap.
Ia tak siap ketika Ayah Calvin mendekatkan wajah. Serta-merta pria itu mengecup istrinya. Entah dorongan dari hormon estrogen yang menggebu, Bunda Manda balas mencium Ayah Calvin. Ciuman mereka tertangkap sepasang mata teduh. Mata yang pernah memberi berlian.