Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hukuman Paling Indah

17 April 2020   06:00 Diperbarui: 17 April 2020   07:13 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukuman Paling Indah

Baju belepotan tepung. Tangan berlumur vanili. Meja dapur dijejali campur-aduk antara sayuran, daging, dan bahan kue. Dapur menyerupai kapal Stimsum yang baru tenggelam di Life of Pi. Sekacau itulah pemandangan di sekeliling Bunda Manda.

Sore ini, ia mesti menyelesaikan sejumlah pesanan katering. Bukan hanya katering, tetapi juga orderan membuat kue untuk beberapa acara. Jewelry sibling memesan lima puluh porsi untuk meeting. Ketua lingkungan menagih Bunda Manda untuk segera membereskan pesanan konsumsi kegiatan di balai pertemuan. Seorang ibu bergaya mirip sosialita membuat Bunda Manda berjibaku dengan waktu gara-gara pesanan kue untuk acara kumpul-kumpul ala 'sosialita'nya. Beberapa teman sesama wali murid meminta Bunda Manda membuatkan bekal buat anak mereka. Hetic, satu kata yang tersemat di kepala untuk menggambarkan kerepotan yang terjadi.

Pesawat telepon model lama di ruang tengah berdering. Kontan Bunda Manda memijit pelipisnya. Perlukah diangkat? Siapa tahu itu pesanan baru. Tapi, mana bisa mengangkat telepon dengan tangan kotor? Dimanakah Silvi dan Ayah Calvin?

Ayah Calvin? Bunda Manda tertawa dalam hati. Sejak kapan ia membutuhkan suaminya? Toh ia sudah terbiasa dengan absennya pria itu.

Telepon terus berdering. Tak punya pilihan, Bunda Manda berlari ke ruang tengah. Jemarinya yang dilumuri vanili menyambar gagang telepon.

"Halo?" sapanya tergesa.

"Halo Bu Manda." Terdengar suara centil di ujung sana.

"Saya mau bikin Coto Makassar. Suami saya tuh yang minta. Heran, dia kayak orang ngidam aja. Bagi dong resepnya."

Kalau mengeluarkan sumpah dan makian dibolehkan, sudah tentu akan ia lakukan. Benar-benar telepon tak penting. Bukannya Bunda Manda pelit berbagi resep. Tapi, jangan sekarang juga kan? Pekerjaannya di dapur menumpuk.

Setengah hati Bunda Manda berbagi resep. Menyebutkan bahan dan cara membuat Coto Makassar yang telah tamat dihafal luar kepala. Setelah memuaskan temannya yang genit itu, ia bergegas balik ke dapur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun