Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jewelry Sibling Vs Hot Daddy

13 April 2020   06:00 Diperbarui: 13 April 2020   06:07 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jewelry Sibling vs Hot Daddy

Peti jenazah diturunkan. Karpet merah membentang dari parkiran ambulans hingga pusara. Karangan bunga bertumpuk. Sederetan pelayat berbaju hitam berdatangan.

Opa Hilarius dimakamkan di samping makam Oma Hillary. Prosesi penghormatan terakhir diadakan begitu mewah. Siapakah yang membiayainya? Jelas bukan Bunda Manda. 

Ibu satu anak itu tak mampu membiayai upacara pemakaman sebegini mewah. Ayah Calvin? Salah. Dia terlalu sibuk mengurus Silvi hingga terlupa memikirkan pemakaman mertuanya.

Bukan, bukan. Biaya pemakaman mahal tidak berasal dari kantong mereka. Melainkan dari pemilik mobil Jaguar hitam yang baru tiba.

Pria berwajah bule itu melompat turun dari kendaraan mewahnya. Berbaur dengan para pelayat, lalu berlari menghampiri Bunda Manda. Jas warna gelapnya berkibaran diterpa angin sore. Sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, si pria meminta maaf karena keterlambatannya.

"Tak apa-apa, Barki." Bunda Manda tersenyum maklum.

Barki Laksana Mueler balas tersenyum. Rileks berdiri di sisi Bunda Manda. Sekali-dua kali ia melirik arloji emas berlapis berlian di pergelangan tangan kirinya. Berlian? Berlian menghiasi tangan seorang laki-laki?

"Adakah yang lebih terlambat dariku?"

Pertanyaannya terjawab tanpa suara. Di kejauhan, nampak seorang pria yang lebih muda, dengan tipikal wajah identik dengan Barki, ikut menggotong peti jenazah. Tak tergambar kelelahan di matanya yang teduh. 

Pria muda itu hanya memakai kemeja sederhana tanpa jas. Jangan harap menemukan aksesoris berhias berlian melekati tubuh lelaki akhir dua puluhan itu. Jangankan perhiasan, sepatu dan bajunya pun bukan dari brand ternama. Lain kakak, lain pula adiknya.

"Ah, Nanda..." desah Barki. Menatapi gerak-gerik adiknya.

"Adikmu baik sekali." Bunda Manda melontar pujian, tulus.

Prosesi pemakaman dimulai. Para pelayat mengikuti dengan khidmat. Walau berbeda latar belakang etnis dan agama, semuanya satu tujuan: mengantarkan Opa Hilarius ke peristirahatan terakhir. 

Pria-wanita, mereka yang berkulit gelap dan terang, bermata besar dan bermata sipit, berdiri berjajar memberi penghormatan. Melepas kepergian pria yang dihormati karena karier dan kharismanya.

Air mata Bunda Manda sudah mengering. Habis, kristal beningnya habis ia tumpahkan di rumah duka. Telah terpatri janji di hati Bunda Manda untuk tidak menangis lagi. Tangisan hanya akan memperberat perjalanan Opa Hilarius bertemu Oma Hillary.

Ah, Hilarius dan Hillary. Nama mereka hampir sama. Mereka pun saling mencintai hingga maut memisahkan. Hilarius dan Hillary menikah menembus tembok perbedaan. Dari pernikahan itu, lahirlah generasi penerus yang rupawan.

Selama upacara kematian berlangsung, tangan Bunda Manda tak henti meremas rosario. Benda mirip kalung manik-manik itu benda terakhir peninggalan Opa Hilarius. 

Ia akan menyimpannya, walau takkan pernah menggunakannya untuk berdoa. Sejak berumur sepuluh tahun, Bunda Manda bulat memutuskan memeluk keyakinan ibunya.

Masih tersisa sebercak darah menempel di lapisan manik-manik itu. Opa Hilarius terus menggenggam rosario sepanjang detik terakhirnya. Termasuk ketika Pastor memberinya sakramen perminyakan.

"Be strong, Manda." Barki berbisik menguatkan.

Bibir tipis itu tergigit kuat-kuat. Menandakan pemiliknya susah payah menahan sedih. Biji-biji kesedihan berjatuhan tiada henti. Mengiringi tertutupnya jasad Opa Hilarius dengan bongkahan tanah dan marmer cantik.

Kini, di depan mereka, nampaklah makam marmer indah. Makam putih itu dihiasi salib dan foto. Opa Hilarius pasti senang jika bisa melihatnya.

Pria berkemeja sederhana yang tadi ikut menggotong peti mati bergabung dengan Barki dan Bunda Manda. Nanda menepuk pelan bahu Bunda Manda. Ikut meneguhkan hati wanita itu dalam diam. Bunda Manda berdiri diapit jewelry sibling.

"Terima kasih Nanda, Barki..." lirih Bunda Manda.

Keduanya hanya mengangguk. Gesture dan ekspresi Nanda menyiratkan ia tengah mencari-cari sesuatu. Merasa ada yang kurang.

"Dimana Silvi?" tanyanya menuntaskan rasa penasaran.

"Silvi? Dia bersama Ayahnya."

Bunda Manda tertegun dengan apa yang dia ucapkan sendiri. Oh iya, saat ini Silvi bersama Ayah Calvin. Bagaimana keadaannya? Apakah dia nyaman bersama ayah kandungnya? Benaknya terusik sejumput pertanyaan.

"Jadi, suamimu sudah pulang?" cetus Barki tanpa menghiraukan raut wajah adiknya.

Suami? Tawa sarkas berdering di kepala Bunda Manda. Masih pantaskah ia menyebut Ayah Calvin sebagai suami? Tujuh tahun pria itu meninggalkannya. Meninggalkan istri dan putrinya tanpa nafkah lahir-batin. Bukankah pembiaran dalam kurun waktu selama itu sama artinya dengan talak?

"Dia bukan suamiku lagi," kata Bunda Manda dingin.

Barki mendengus. Sorot mata Nanda menajam. Sepasang kakak-beradik dari keluarga pengusaha berlian itu bersitegang tanpa kata. Satu merasa ingin segera memiliki Bunda Manda, satunya lagi terobsesi dengan putri kesayangan sang bunda.

"Ayo aku antar pulang. Sekalian aku mau ketemu Silvi."

Ajakan Barki menghentakkan tirai lamunannya. Wanita itu menurut saat Barki menggandengnya ke mobil. Nanda bergegas menjajari mereka. Katanya, ia tak membawa mobil ke pemakaman. Ternyata Nanda naik kereta. Dengarlah, betapa berbedanya gaya hidup dua bersaudara ini.

"Kamu yang nyetir." Barki melempar kunci mobil pada adiknya. Refleks Nanda menangkapnya. Secara halus, Nanda berhasil membujuk Bunda Manda duduk di depan. Manda dan Nanda, bukankah serasi?

Alunan lagu yang terputar di radio mobil sukses mengejek Bunda Manda. Bayangan wajah Ayah Calvin terus menari di pelupuk mata. Dikerjapkannya mata, berusaha mengusir bayangan itu. Nihil. Pandangan mata Bunda Manda bergeser ke wajah Nanda yang berkonsentrasi mengemudi.

Di saat ini aku menyendiri

Ditemani rasa kebencianku

Padamu yang pernah aku cinta

Begitu besarnya sesalku padamu

Tak mungkin terhapus walaupun kau pinta

Karena pernah kau anggap

'Ku manusia yang hina

Satu hal yang bodoh

Bila 'ku memikirkanmu

Bila 'ku mencintaimu

Alangkah bodohnya aku

Satu hal yang bodoh

Bila 'ku merindukanmu

Dan bila kembali padamu

Betapa naifnya aku (Rossa-Satu Hal yang Bodoh).

**   

BMW silver itu meluncur anggun ke halaman samping rumah. Ayah Calvin membukakan pintu mobil untuk Silvi. Berdua mereka memasuki rumah.

Lengang. Kesunyian menyapa mereka di ruang tamu. Ayah Calvin mengisyaratkan Silvi untuk berganti pakaian. Sementara gadis kecilnya menuju kamar, pria tampan itu menjatuhkan diri ke sofa. Tak kuat lagi dengan keletihan dan rasa sakitnya.

Cukup sudah untuk hari ini. Ayah Calvin dibuat terkejut dengan fakta bahwa putrinya berkebutuhan khusus. Mana mungkin Ayah Calvin diam saja membiarkan putrinya tanpa penanganan spesial? Ia sendiri yang akan turun tangan.

"Ayah..."

Tenggelam dalam pikirannya, Ayah Calvin nyaris melupakan Silvi. Gadis tujuh tahun itu telah mengenyakkan diri di sebelahnya. Seragam sekolah berganti dengan gaun rumah berbordir bunga-bunga krisan.

"Kamu lapar, Sayangku? Ayah masakkan sesuatu untukmu ya," tawar Ayah Calvin lembut.

Iris kebiruan Silvi berkilat tak percaya. Memangnya Ayah Calvin bisa memasak? Pastilah orang sekaya dan sesibuk Ayah Calvin belum pernah berkotor-kotor di dapur.

Namun, Silvi salah duga. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri aksi sang ayah di dapur. Ayah Calvin telah memenuhi isi kulkas dengan bahan-bahan makanan. Untuk makan siang, dia membuat salmon steak dan puding coklat.

Silvi terkesima. Ayahnya, dengan apron putih dan talenan di tangan, nampak dua kali lebih tampan. Menyesal juga tadi ia sempat meremehkan Ayah.

Steak dimasak dengan kematangan well done. Puding coklat menguarkan wangi manis. Keduanya duduk di meja makan. Makan siang mengeratkan ayah dan anak itu. Masakan Ayah Calvin tak kalah lezat dibandingkan masakan Bunda Manda dan Opa Hilarius.

Silvi kesulitan memotong steaknya. Jari-jari lentik Ayahnya sigap memotongkan. Tak hanya memotongkan, ia pun menyuapi Silvi. Rasa hangat menyembul ke hati Silvi. Begini rasanya disuapi seorang ayah.

"Cukup sudah kebersamaannya. Sekarang, biar aku yang mengurus Silvi."

Sebuah suara sopran memutus momen manis itu. Gerakan tangan Ayah Calvin terhenti. Dilihatnya Bunda Manda berdiri tegak di mulut pintu. Ia tak sendiri. Dua pria bertubuh bak model siaga di kanan-kirinya.

"Manda..." sapa Ayah Calvin hangat. Bangkit dan bersiap mencium kening istrinya. Namun ditepis oleh sang istri.

"Stay away from her," geram Nanda mengancam.

"And who are you?"

Barki dan Nanda tertawa sinis. Lupakah Ayah Calvin? Atau ia berlagak lupa? Mereka pernah bertemu saat debutante sekian tahun lalu.

"Aku calon suami Manda."

"Aku akan menggantikanmu jadi ayahnya Silvi."

Jewelry sibling berucap nyaris bersamaan. Wajah Ayah Calvin memias. Skenario apa lagi ini? Belum puaskah Tuhan menghukumnya lantaran pembiaran selama bertahun-tahun?

"Manda, jelaskan padaku. Kita belum bercerai..."

Nada lembut dalam suara Ayah Calvin sedikit mengikis batu karang kemarahan. Ada luka di mata sipit itu. Luka yang amat dalam.

Tapi...

Siapa duluan yang mulai memahat luka? Kini, seenaknya saja si pemahat luka ingin kembali dengan mudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun