Peti jenazah diturunkan. Karpet merah membentang dari parkiran ambulans hingga pusara. Karangan bunga bertumpuk. Sederetan pelayat berbaju hitam berdatangan.
Opa Hilarius dimakamkan di samping makam Oma Hillary. Prosesi penghormatan terakhir diadakan begitu mewah. Siapakah yang membiayainya? Jelas bukan Bunda Manda.Â
Ibu satu anak itu tak mampu membiayai upacara pemakaman sebegini mewah. Ayah Calvin? Salah. Dia terlalu sibuk mengurus Silvi hingga terlupa memikirkan pemakaman mertuanya.
Bukan, bukan. Biaya pemakaman mahal tidak berasal dari kantong mereka. Melainkan dari pemilik mobil Jaguar hitam yang baru tiba.
Pria berwajah bule itu melompat turun dari kendaraan mewahnya. Berbaur dengan para pelayat, lalu berlari menghampiri Bunda Manda. Jas warna gelapnya berkibaran diterpa angin sore. Sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, si pria meminta maaf karena keterlambatannya.
"Tak apa-apa, Barki." Bunda Manda tersenyum maklum.
Barki Laksana Mueler balas tersenyum. Rileks berdiri di sisi Bunda Manda. Sekali-dua kali ia melirik arloji emas berlapis berlian di pergelangan tangan kirinya. Berlian? Berlian menghiasi tangan seorang laki-laki?
"Adakah yang lebih terlambat dariku?"
Pertanyaannya terjawab tanpa suara. Di kejauhan, nampak seorang pria yang lebih muda, dengan tipikal wajah identik dengan Barki, ikut menggotong peti jenazah. Tak tergambar kelelahan di matanya yang teduh.Â
Pria muda itu hanya memakai kemeja sederhana tanpa jas. Jangan harap menemukan aksesoris berhias berlian melekati tubuh lelaki akhir dua puluhan itu. Jangankan perhiasan, sepatu dan bajunya pun bukan dari brand ternama. Lain kakak, lain pula adiknya.