Tak semua anak yang datang membawa kado. Silvi cuek saja. Yang penting dia bisa merayakan ulang tahun dan berbagi kebahagiaan. Tumpukan kado yang didapatnya terbilang sedikit. Terdapat sebentuk kado yang mengusik rasa ingin tahunya. Kado itu tergeletak di tumpukan teratas, ukurannya paling besar. Terbungkus dengan kertas kado nan cantik berwarna merah muda, lengkap dengan hiasan pita di ujungnya. Tak ada nama pengirim.
"Bunda, itu kado siapa?" Silvi mencolek lengan Bundanya.
Wanita cantik itu tak menjawab. Wajahnya murung. Silvi yakin betul Bunda Manda tahu siapa pengirim kado itu.
Belum sempat anak itu menginterogasi, keriuhan pesta memudar. Tergantikan jeritan panik. Opa Hilarius tetiba jatuh pingsan. Darah segar mengalir tak henti dari hidungnya.
"Papa! Papa! Jangan tinggalkan aku, Pa! Jangan menyusul Mama!" teriak Bunda Manda histeris.
Merinding tengkuk Silvi. Akankah Opa Hilarius menyusul Oma Hillary? Opa Hilarius sangat mencintai Oma Hillary. Sejak Oma Hillary berpulang ke Rumah Bapa, tak pernah Opa Hilarius menikah lagi. Telah tibakah saat terakhir mantan pebisnis kuliner dan penyiar radio itu?
Cepat sekali suasana berganti. Para tamu beranjak pulang. Pesta bubar dalam ketakutan. Silvi ditinggalkan sendiri di rumah. Bunda Manda hanya membekalinya satu pesan: angkat telepon.
Tiga jam kemudian, pesawat telepon kuno di rumah itu berdering. Tubuh Silvi lemas seketika. Opa Hilarius benar-benar menyusul Oma Hillary.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un...Opa, Opa!" Silvi terisak-isak.
Selamat tinggal Opa terkasih. Tak ada lagi tangan yang menggandengnya ke TPA. Tak ada lagi lengan kekar yang memeluknya ketika ia bertanya dimana Ayah. Tak ada, tak ada.
Luruh sudah niatnya membuka kado misterius. Hati Silvi rusuh mendaraskan doa. Allahhummaghfir lahu warhamhu wa'aafihi wa'fu anhu. ("Ya Allah ampunilah dia, berilah rahmat, kesejahteraan dan ma'afkanlah dia").