Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerita Anak] Aku Ingin Merayakan Imlek bersama Ayah

13 Januari 2020   06:00 Diperbarui: 24 Januari 2020   20:28 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku Ingin Merayakan Imlek Bersama Ayah


"Saat Imlek nanti, aku pasti dapat banyak angpau dari Om, Tante, dan Opa-Omaku."

"Aku mau makan kue keranjang yang banyak pas Imlek. Abisnya enak sih."

"Ah, makan mulu. Kalo aku mau dibeliin gaun merah yang bagus buat perayaan Imlek."

Robert, Keisya, dan Lauren berkoar membicarakan rencana yang mereka inginkan saat Imlek tiba. Silvi hanya mendengarkan dari meja sebelah. Tangannya menopang dagu.

Sebagian besar teman sekelasnya merayakan Imlek. Sekolah swasta ini memang unik. Muridnya terdiri dari beragam etnis dan keyakinan. Beruntung Silvi bersekolah di sini.

Sayang sekali, Silvi tak seberuntung teman-temannya soal rencana merayakan tahun baru Lunar. Ia belum punya rencana apa pun. Bahkan, mungkin saja ia tidak bisa merayakan tahun 2571 dengan Ayah Calvin.

Teringat Ayah Calvin membuat Silvi semakin sedih. Seorang anak butuh sosok ayahnya. Berbeda dengan kebanyakan anak lain seumurannya, Silvi tinggal terpisah dari Ayah Calvin. Ia kini tinggal bersama Papa Antonius dan Mama Saparti.

Silvi memiliki dua ayah dan satu ibu. Aneh memang, tetapi begitulah adanya. Papa Antonius dan Mama Saparti adalah orang tua kandungnya. Sedangkan Ayah Calvin adalah ayah angkatnya. Silvi hanya bisa bertemu Ayah Calvin seminggu dua kali.

"Hei, kamu nggak apa-apa?"

Sebuah suara barithon menegurnya lembut. Silvi menengadah. Mata birunya mengerjap bingung mendapati Jose Gabriel, ketua kelas bermata sipit dan bertubuh paling tinggi di antara teman-teman seangkatan, berdiri menjulang di depannya.

"Nggak apa-apa kok," jawab Silvi datar.

Jose menggeleng tak percaya. Ia melesat ke samping Silvi, lalu duduk di bangku yang kosong. Anak cantik itu tak punya teman sebangku.

"Kamu mau ngapain aja pas Imlek nanti?" tanya Jose.

"Aku ingin merayakan Imlek bersama Ayah. Tapi nggak dibolehin sama Papa."

Kening Jose berkerut mendengar jawaban Silvi. Ia tak mengerti.

"Papa kamu ada dua?" terkanya.

Silvi mengangguk. Makin dalam kernyitan kening Jose.

"Kok bisa?"

"Ayah Calvin ayah angkatku, Papa Antonius papa kandungku. Papa Antonius nggak suka sama Ayah Calvin. Papa larang aku merayakan Imlek bersama Ayah. Papa jahat!" Silvi meninggikan nada suaranya di ujung kalimat.

Sesaat Jose termenung. Ia menatap sedih wajah Silvi. Bocah tampan itu bisa merasakan kesedihan temannya. Bayangkan bila dirinya tidak bisa merayakan Imlek bersama keluarga, pasti sedih sekali.

Sejurus kemudian, Jose menarik tangan Silvi. Gadis kecil berambut panjang itu menurut saja saat Jose membawanya ke taman. Ia sedikit heran karena Jose mampir sebentar ke mejanya untuk membawa tas.

"Jose, mau kemana?" tanya Keisya dari seberang ruangan.

"Ke taman. Cuma sebentar." Balas Jose singkat.

Diam-diam Silvi melirik tas di tangan Jose. Kalau hanya sebentar, untuk apa Jose membawa tasnya?

Tiba di taman, Jose mendudukkan Silvi di bangku semen. Ia sendiri bersila di rumput. Tas ransel hitam itu ia buka. Sejenak mengaduk-aduk isinya, Jose mengeluarkan piano digital. Silvi terbelalak melihat benda itu.

"Kamu sering bawa piano ke sekolah?" tanyanya.

"Tiap hari. Aku biasa main piano di sini. Kalau ada yang sedih, aku juga main piano buat menghiburnya." Jose menyahut ceria.

Silvi kagum mendengarnya. Dua detik kemudian, Jose mulai bermain piano. Suara lembutnya melantunkan sebuah lagu.

Hatiku sedih

Hatiku gundah

Tak ingin pergi berpisah

Hatiku bertanya

Hatiku curiga

Mungkinkah kutemui kebahagiaan seperti di sini

Sahabat yang selalu ada

Dalam suka dan duka

Sahabat yang selalu ada

Dalam suka dan duka

Air mata Silvi meleleh. Ya, Jose sahabat yang selalu ada. Semua murid menyayanginya. Ia menjadi ketua kelas karena bisa berbaur dengan siapa saja. Tak terkecuali dengan anak penyendiri seperti Silvi.

Pergilah gundah

Pergilah resah

Jauhkanlah aku dari salah prasangka

Pergilah gundah

Jauhkanlah resah

Lihat segalanya lebih dekat

Dan ku bisa menilai lebih bijaksana

Suara Jose begitu lembut. Ia hibur Silvi lewat lagunya. Silvi terhibur bercampur terharu.

Di kejauhan, sepasang mata sipit lekat mengawasi. Seorang pria tinggi, tampan, dan bermata sipit baru saja turun dari mobil. Ia tersentuh melihat putri tunggalnya diperlakukan dengan baik. Pada saat bersamaan, pria berjas hitam itu sedih karena melihat anaknya menangis.

Mengapa bintang bersinar

Mengapa air mengalir

Mengapa dunia berputar

Lihat segalanya lebih dekat

Dan ku akan mengerti (Sherina-Lihatlah Lebih Dekat).

"Terima kasih, Jose." Silvi bergumam lirih.

"Lho, kok kamu malah nangis? Aku salah ya?" Jose cemas, jemarinya menyapu air mata Silvi.

Silvi menggeleng. "Nggak kok, aku senang kamu nyanyi dan main piano. Aku jadi kangen Ayah. Ayah Calvin sering lakuin itu buat aku."

"Ayah di sini, Sayang."

Mendengar suara yang dirindukannya, Silvi menoleh. Ayah Calvin memeluknya dari belakang. Ia kecup kening Silvi. Sontak Silvi membalas pelukan Ayah Calvin. Jose tersenyum melihat adegan itu.

"Ayah...kenapa Ayah datang ke sini? Ini, kan, masih jam istirahat." Ujar Silvi tak percaya.

Ayah Calvin membelai rambut Silvi, lalu menjawab.

"Ayah ingin bertemu kamu, Sayang. Ini kesempatan Ayah ketemu kamu. Pulang sekolah kamu akan dijemput Papa Anton."

Silvi menggigit bibir bawahnya. Ah, Papa Antonius lagi. Menyebalkan. Papa beralis tebal itu sering merusak pertemuannya dengan Ayah Calvin.

"Ayah juga mau memberikan ini untuk Silvi." Ayah Calvin menyodorkan kotak makanan berwarna merah.

"Ini apa, Ayah?"

"Bukalah, Sayangku."

Pelan-pelan Silvi membukanya. Mata gadis itu berbinar bahagia. Di dalam kotak, tersusun rapi kue favoritnya: kue keranjang. Ayah Calvin tahu ia ingin menikmati kue keranjang di pergantian tahun Lunar. Kue keranjang melambangkan kekeluargaan yang erat.

"Aku ingin tinggal bersama Ayah." Silvi berkata tiba-tiba, mengungkapkan isi hatinya.

Ayah Calvin tersenyum lembut. "Pada waktunya kita akan tinggal bersama."

Perlahan Jose mundur menjauh. Memberi kesempatan pada ayah dan anak itu untuk bersama. Ia ikut bahagia saat Silvi bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun