Forget, An Excess of Phlegm
-Fragmen Silvi
Malam itu, waktu aku masih kecil, aku ingin sekali tidur bersama Papa. Kutunggu deru mobil Papa di bibir teras. Selamat tinggal PR-PR itu. Selamat datang kebebasan menjelang tidur.
Ayah berdiri di sampingku. Aku tak begitu peduli. Agak aneh juga, Ayah yang tengah sakit mau menemaniku di ruang terbuka begini. Udara malam begitu dingin. Angin nakal meniup rambutku hingga menutupi mata. Tanpa diminta, Ayah merapikan rambutku. Menyelipkan helai-helainya ke belakang telinga.
Desau angin berubah menjadi hujan. Aku bergeming ketika Ayah mengajakku masuk.
"Kita bisa tunggu Papa di dalam, Sayang." Bujuk Ayah lembut, lembut sekali.
"Nggak mau! Aku mau tunggu Papa pulang!" tolakku kasar.
Hujan menderas. Saat berpaling, kulihat wajah Ayah jauh lebih pucat dari sebelumnya. Lagi-lagi aku acuh. Salah sendiri Ayah nekat menemaniku di sini. Sok kuat, padahal Ayah sakit-sakitan juga.
Mobil Papa meluncur mulus. Mengabaikan ujaran Ayah, aku berlari riang ke halaman. Papa memelukku singkat.
"Pa, aku mau tidur sama Papa." Pintaku.
Betapa sedihnya aku karena Papa menggeleng tegas. "Papa sibuk. Harus siapkan materi meeting untuk besok."
Aku mengekorinya masuk ke dalam. Kudengar suara pintu utama ditutup pelan. Pastilah Ayah yang melakukannya.
"Pa, ayolah ...aku mau tidur sama Papa!" rengekku seraya menarik-narik jas Papa.
"Nggak bisa. Kalau kamu tidur sama Papa, yang ada Papa terganggu." Kata Papa kesal.
Aku mengerjap. Jadi, aku pengganggu ya? Sungguh, kata-kata Papa membuatku tersinggung.
"Adica, dia hanya ingin tidur bersamamu. Beberapa malam lalu, Silvi mimpi buruk. Dia takut tidur sendiri."
Tanpa diduga, Ayah telah berdiri di belakangku. Kedua lengannya memeluk pundakku lembut.
"Ya sudah. Kamu saja yang menemaninya. Kamu, kan, tidak sesibuk aku." Nada suara Papa semakin dingin.
"Aku sakit, Adica. Aku takut Silvi tidak nyaman tidur bersamaku."
Tetap saja Papa tak mau mengerti. Aku mengejarnya ke kaki tangga pualam. Kakiku melompati anak tangga dua-dua sekaligus. Samar kudengar tapak kaki berderap pelan di belakang.
"Papa ...Papa, buka pintunya! Aku mau tidur sama Papa!" seruku, mengetuk-ngetuk pintu coklat berpelitur itu dengan kalut.
Tubuhku merosot di balik pintu. Wajahku terbenam di lutut. Papa jahat. Apa salahnya kalau aku ingin tidur bersamanya? Selalu saja Papa beralasan sedang sibuk. Kapankah Papa punya waktu luang sebanyak Ayah?
Sepasang tangan hangat menggendongku lembut. Dari balik kabut air mata, aku mengenali kilatan jas hitam Ayah. Ayah membawaku ke kamarnya.
Aku ditidurkan Ayah di ranjang king sizenya, menghadap kanan sebelah tembok. Ia menyalakan AC dan menyelimutiku. Bukankah Ayah sedang sakit? Demi aku, Ayah menggunakan pendingin udara di kamarnya.
"Selamat tidur, Sayangku." Ayah berbisik lembut, mencium keningku.
** Â Â
Hari ini dadaku bergetar
terguncang memilu dan mengerang
ku yakin ku tak salah
karna hatiku tak pernah dan takkan berdusta
cinta cinta cinta
Pukul dua pagi, aku terbangun. Tanganku merasakan genggaman lembut tangan Ayah. Rupanya semalaman aku dan Ayah terlelap sambil berpegangan tangan.
Kupandangi wajah Ayah. Walau pucat, hal itu tidak mengurangi ketampanannya. Entah kenapa, Ayahlah yang pertama kuingat saat aku terbangun.
aku jatuh cinta
esoknya ku pikir rasa itu
akan menghilang dengan seiring waktu
namun ternyata tak berubah
aku makin tergiur pada dirimu
cinta cinta cinta
Menit-menit berlalu lambat. Dalam keheningan, detak jarum jam terdengar amat keras. Aku nyaman sekali di samping Ayah sekalipun Ayah tak bicara denganku. Ayahku yang lembut dan tak banyak bicara. Ayahku yang penuh kasih sayang dan penyabar.
aku jatuh cinta
dan seterusnya rasa ini selalu terjadi
dan tak pernah berkurang
hatiku hanya untuk dirimu
Aku bahagia hanya bila kamu bahagia (Nirina-Hari Ini Esok dan Seterusnya).
Genggaman tangan Ayah bergerak. Ayah terbatuk. Bibirku membuka, bersiap mengucapkan 'selamat pagi'. Tetiba Ayah melepas kasar pegangan tangannya dariku.
"Ayah ..." panggilku sedih.
Seolah tak mendengar, Ayah meninggalkanku. Hatiku berontak. Kaki kecilku terayun dari ranjang.
Aku mendengar Ayah terbatuk berkali-kali. Kulirik meja komputer. Ada beberapa lembar tissue bernoda darah. Apa yang terjadi dengan Ayahku?
Kembali aku mendengar Ayah terbatuk. Gara-gara an excess of phlegm, batinku memaki. Aku jadi ingat salah satu buku yang pernah dibacakan Ayah: Harry Potter and The Half Blood Prince.
Saat aku melompat kembali ke ranjang dan menenggelamkan wajah di balik selimut tebal, kurasakan Ayah mendekapku. Wangi Blue Seduction Antonio Banderas yang sangat khas menguar dari tubuhnya. Di dalam atau di luar rumah, Ayah selalu wangi. Aku marah pada Ayah. Bukannya mengingatku saat bangun pertama kali, ia justru meninggalkanku.
Tanganku mengepal. Kepalan tangan kupukul-pukulkan ke kepalaku. Ayah membelai rambutku lembut, lalu menguncirkannya.
"Ayah jahat! Bukannya menyapaku, malah membuang phlegm itu dan meninggalkanku!" Aku berseru marah.
Silakan, silakan menyebut aku anak tunggal Papa dan Ayah yang aneh. Sering kali aku berbuat aneh-aneh pada mereka, khususnya pada Ayah. Yah memang beginilah aku.
"Sini, Sayangku. Sini ..."
Dengan lembut, Ayah mengangkat tubuhku ke pangkuannya. Aku mencengkeram erat tepi jasnya. Sekali-dua kali Ayah masih terbatuk. Kutangkap bercak darah di sudut bibirnya.
"Jangan menyerang dirimu sendiri, Sayang. Ini yang terakhir ya ...Sayangku, anak kesayangan Ayah, anak pintar. Ini yang terakhir ya ..."
Enak saja Ayah memintaku. Dia saja melupakanku.
Malam berikutnya, aku minta tidur bersama Papa. Kali ini Papa mau melakukannya. Belakangan baru kutahu kalau Ayah yang membujuk Papa agar mau menemaniku sebelum tidur.
Anehnya, ketenangan itu tak lagi ada saat berbagi kamar dengan Papa. Aku bahkan bermimpi buruk lagi. Berbeda ketika aku bersama Ayah.
"Ayah ...Ayah, aku mau Ayah." Rintihku di larut malam itu.
Rintihanku berubah menjadi teriakan. Teriakanku membangunkan seisi rumah mewah ini. Ya, rumah sebesar ini hanya ditempati kami bertiga. Papa hampir saja mengomeliku kalau tidak melihat wajahku yang kusut.
"Kamu ini merepotkan saja. Benar, kan? Pada akhirnya, toh kamu menginginkan Ayahmu."
Diiringi gerutuan panjang, Papa menyerahkanku pada Ayah. Sepasang ayah kembar itu sejenak saling pandang. Mereka memang kembar, tetapi sifat mereka bertolak belakang.
Aku kembali ke pelukan Ayah. Ayah, pemberi rasa nyaman, cahaya hidupku, malaikat penenteram perasaanku. Hari ini, esok, dan seterusnya, Ayah akan selalu menjadi pemberi rasa nyaman yang menenteramkan jiwaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H