Forget, An Excess of Phlegm
-Fragmen Silvi
Malam itu, waktu aku masih kecil, aku ingin sekali tidur bersama Papa. Kutunggu deru mobil Papa di bibir teras. Selamat tinggal PR-PR itu. Selamat datang kebebasan menjelang tidur.
Ayah berdiri di sampingku. Aku tak begitu peduli. Agak aneh juga, Ayah yang tengah sakit mau menemaniku di ruang terbuka begini. Udara malam begitu dingin. Angin nakal meniup rambutku hingga menutupi mata. Tanpa diminta, Ayah merapikan rambutku. Menyelipkan helai-helainya ke belakang telinga.
Desau angin berubah menjadi hujan. Aku bergeming ketika Ayah mengajakku masuk.
"Kita bisa tunggu Papa di dalam, Sayang." Bujuk Ayah lembut, lembut sekali.
"Nggak mau! Aku mau tunggu Papa pulang!" tolakku kasar.
Hujan menderas. Saat berpaling, kulihat wajah Ayah jauh lebih pucat dari sebelumnya. Lagi-lagi aku acuh. Salah sendiri Ayah nekat menemaniku di sini. Sok kuat, padahal Ayah sakit-sakitan juga.
Mobil Papa meluncur mulus. Mengabaikan ujaran Ayah, aku berlari riang ke halaman. Papa memelukku singkat.
"Pa, aku mau tidur sama Papa." Pintaku.