Betapa sedihnya aku karena Papa menggeleng tegas. "Papa sibuk. Harus siapkan materi meeting untuk besok."
Aku mengekorinya masuk ke dalam. Kudengar suara pintu utama ditutup pelan. Pastilah Ayah yang melakukannya.
"Pa, ayolah ...aku mau tidur sama Papa!" rengekku seraya menarik-narik jas Papa.
"Nggak bisa. Kalau kamu tidur sama Papa, yang ada Papa terganggu." Kata Papa kesal.
Aku mengerjap. Jadi, aku pengganggu ya? Sungguh, kata-kata Papa membuatku tersinggung.
"Adica, dia hanya ingin tidur bersamamu. Beberapa malam lalu, Silvi mimpi buruk. Dia takut tidur sendiri."
Tanpa diduga, Ayah telah berdiri di belakangku. Kedua lengannya memeluk pundakku lembut.
"Ya sudah. Kamu saja yang menemaninya. Kamu, kan, tidak sesibuk aku." Nada suara Papa semakin dingin.
"Aku sakit, Adica. Aku takut Silvi tidak nyaman tidur bersamaku."
Tetap saja Papa tak mau mengerti. Aku mengejarnya ke kaki tangga pualam. Kakiku melompati anak tangga dua-dua sekaligus. Samar kudengar tapak kaki berderap pelan di belakang.
"Papa ...Papa, buka pintunya! Aku mau tidur sama Papa!" seruku, mengetuk-ngetuk pintu coklat berpelitur itu dengan kalut.