"Ayah, waktunya minum obat. Ayah bawa obatnya, kan?" tanya gadis itu ketika mereka duduk manis di meja terracotta.
Calvin mengangguk enggan. Silvi meremas tangan sang ayah. Kotak obat berwarna putih dikeluarkan. Pil-pil putih yang berkejaran di dalam kotak ditatap bosan oleh pemiliknya. Calvin ingin ingin sehari saja berhenti meminum obat-obat itu.
Puluhan jarum jahat menusuk dadanya. Pil-pil itu diminumnya dengan sangat enggan. Calvin menyeka keringat dingin yang membanyak di keningnya, berharap sakitnya lenyap saat itu juga. Silvi memandangnya sedih.
"Berhenti menatap Ayah seperti itu." kata Calvin dingin.
Silvi dan Adica tertegun. Baru kali ini Calvin berkata dingin pada Silvi. Pria itu menjadi sensitif bila berurusan dengan penyakitnya.
"Ayah, maaf..."
Kata-kata Silvi tak tuntas. Detik berikutnya, ia telah berpindah ke pelukan Calvin. Mata Adica menghangat melihat adegan itu. Ia berpaling, lalu mengangkat tangan memanggil waiters.
** Â Â
-Fragmen Silvi
Gawat, aku kesiangan! Semalam aku, Ayah, dan Papa pulang larut. Kami sengaja mampir ke banyak tempat karena sudah lama tak jalan bertiga.
Kenapa juga mereka tak membangunkanku? Aku bisa terlambat! Kusambar handuk dan bathrobe. Tanpa sempat mengenakan penutup kepala, aku menyerahkan tubuhku ke bawah hangatnya guyuran shower. Rambutku basah kuyup. Terpaksa aku membubuhkan shampoo.