Baiklah, ini tak bisa dibiarkan. Calvin menyampirkan jas hitam Versace itu di tubuhnya. Pencahayaan yang minim memperkecil kemungkinan Silvi mengenalinya.
Kepala Silvi tengadah saat kursi di depannya ditarik. Senyum gadis itu melebar melihat seseorang datang ke mejanya.
"Kamu pasanganku, ya?" sambutnya antusias.
Calvin tak bersuara. Ia hanya tersenyum. Jangan sampai Silvi mengenali suaranya.
Salad, chicken cordon bleu, puding, dan pai apel tersaji di meja. Mereka makan tanpa bicara. Silvi terus bicara dan bertanya. Ketika gadis itu kesulitan memotong makanannya, Calvin mengulurkan tangan. Dipegangnya tangan gadis itu, dibantunya Silvi menggerakkan pisau membentuk potongan-potongan ayam berlumur saus itu.
"Terima kasih..." kata Silvi ceria.
Ah, anak itu. Andai saja dia tahu siapa pasangan candle light dinnernya.
Calvin terus membantu Silvi memotong-motong makanannya. Hati Silvi berselimut damai.
"Tangan ini...seperti tangan Ayah. Ah, mana mungkin? Ayah, kan, nggak ada di sini." Silvi bergumam sendiri.
Hati Calvin mencelos. Sediam apa pun ia, sekeras apa pun usahanya menyamar, sedikit-banyak Silvi merasakan sesuatu yang khas darinya. Walau begitu, Calvin rela mempertaruhkan apa saja, termasuk rasa malu, agar tetap bersama Silvi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H