Jose menghela napas berat. Digenggamnya tangan Arini erat.
"Mereka tidak punya peran penting dalam hidup kita. Arini nggak perlu dengerin kata-kata mereka, ok?"
"Ayah nggak marah? Ayah nggak sedih?"
"Buat apa marah dan sedih? Memang kenyataannya Ayah lumpuh. Tapi, meski lumpuh, Ayah masih bisa jalan-jalan sama Arini kan? Ayah masih bisa beliin makanan, mainan, dan baju yang bagus-bagus buat Arini, kan?"
Iya, benar juga. Mendung di wajah Arini tergantikan senyuman. Mengapa harus marah dan sedih? Jose tak kalah baik dibandingkan ayah-ayah lainnya.
Semua barang belanjaan mereka bawa ke kasir. Arini memperhatikan Jose gelisah. Berulang kali penulis buku non-fiksi itu melirik arlojinya. Saat ditanya, ternyata Jose takut terlambat. Sebentar lagi Calvin dan Sivia datang.
Mereka buru-buru pulang. Supir keluarga membantu menaikkan barang belanjaan ke bagasi. SUV metalik itu meluncur menuju kompleks.
Jose dan Arini datang tepat waktu. Alea, yang sudah tiba di rumah satu jam yang lalu, meminta mereka segera ke rumah sebelah. Calvin dan Sivia sudah sampai.
"Yeeeeay, wellcome home Daddy!" seru Arini setiba di rumah sebelah.
Calvin tersenyum menawan. Menggendong tubuh Arini, lalu memutarnya. Arini tertawa kegirangan diputar-putarkan ayah keduanya. Sesaat kemudian, kembali diturunkannya gadis kecil itu.
"Daddy bantu beres-beres ya. Tunggu..." pamitnya.