Di ruang makan, Jose telah menunggu. Tak ada Alea. Hari ini jadwalnya Alea me time sebulan sekali dengan teman-teman sesama mantan finalis gadis sampul. Jose tahu itu. Ia tak melarang. Dianggapnya Alea sedang mencharge baterai sebelum dipakai lagi selama sebulan ke depan.
"Ayah, ini apa?" tunjuk Arini ke arah sepiring nasi goreng omelet yang tak jelas bentuknya.
"Itu masakan buatan Ayah, khusus buat Arini. Cobain ya, Sayang."
Arini meraih sendok. Dia menyuapkan nasi goreng omelet ke dalam mulutnya. Rasanya sungguh tidak enak. Anak yang baik akan selalu menghargai pemberian orang tuanya. Arini memaksakan diri menikmati masakan Ayahnya.
"Gimana rasanya? Enak?" tanya Jose harap-harap cemas.
"Enak. Ayah, Arini boleh minta air nggak? Arini mau minum dulu..." jawab gadis kecil itu serak.
Ayah dan anak itu sama-sama tahu. Masakan yang jauh dari kata enak dihargai demi cinta kasih. Karena cinta, Arini bisa menyantap masakan Ayahnya sampai habis.
Jose tahu diri. Tidak ada bakat seorang chef dalam dirinya. Dia bukanlah Calvin yang pintar mengolah bahan makanan apa saja menjadi masakan lezat. Nalurinya adalah traveler dan penulis, bukannya naluri koki.
"Maaf ya, Sayang. Ayah memang kalah jauh sama Daddy."
Arini membelai tangan Jose. Dia bangkit, meraih tasnya, lalu mendorong kursi roda Jose ke ruang tamu. Di ruang tamu, Jose meminta Arini berhenti sebentar. Posisi mereka tepat di samping piano.
Kain beludru pelapis piano terbuka. Jose bermain piano. Ia menyanyikan lagu, mata sipitnya tak lepas memandangi wajah cantik Arini.