Balada Manusia Bandara
Shit!
Rasanya aku ingin membuang benda jelek ini. Haruskah aku habiskan sisa hidup dengan duduk di atasnya? Apakah hidupku semenyedihkan itu?
Andai saja penyakit Hemofilia tidak menggerogotiku sejak lahir. Sering aku bertanya pada Tuhan. Mengapa Dia titipkan penyakit ini ke tubuhku? Mengapa Dia buat darahku sulit membeku? Mengapa Dia perparah penderitaanku tiap kali aku terluka?
Garis takdir menjadikanku berbeda sedari kecil. Aku, Jose Gabriel Diaz, memang berbeda. Kata Mama-Papaku, aku anak spesial.
Anak spesial? Apa bagusnya menjadi spesial karena penyakit genetik? Penyakit ini membuatku tidak berguna.
Masih segar dalam ingatanku. Waktu kecil, aku jadi satu-satunya anak yang diantar orang tuaku sampai kelas 1 Junior High School. Aku harus sembunyi-sembunyi saat belajar naik sepeda. Kubujuk teman sebangku agar mau mengajariku dengan imbalan es krim, sepuluh batang Silver Queen, bubble tea, dan makaroni panggang. Berstatus anak pengusaha sukses memudahkanku membeli makanan apa pun yang kuinginkan.
Bicara soal makanan, penyakit sialan ini pun merampas kebebasanku. Pernah aku ditertawakan teman-teman sekelas gegara membawa bekal dari rumah. Mamaku berkeras melarangku makan di luar. Makanan di luar belum tentu higienis, begitu katanya. Nanti kamu bisa keracunan atau lambungmu berdarah, lanjutnya. Menurutku, alasan itu mengada-ada. Aku sedih dan marah saat mereka membullyku. Hanya dua anak di kelas itu yang tidak ikut tertawa: Calvin dan Alea.
Calvin dan Alea, dua malaikat hidupku. Mereka mewarnai hari-hari monokromku menjadi berpelangi. Mereka yakinkan aku, kalau penyintas Hemofilia masih bisa optimis menatap masa depan. Kutemukan bintik cerah di kaki langit kehidupanku selama bersama mereka.
Semangat hidupku kembali meroket. Ingin kutaklukkan penyakit ini. Agar kubuktikan pada dunia bahwa aku bisa hidup normal bersama Hemofilia.
Aku mengidap Hemofilia tipe B. Gangguan pembekuan darah akibat kehilangan faktor pembeku darah 9. Satu dari lima ribu bayi laki-laki mengidap Hemofilia tipe ini. Aku menyebutnya penyakit pria, karena Hemofilia lebih banyak diderita laki-laki. Walau kedua orang tuaku tidak menderita Hemofilia, mereka bersifat sebagai pembawa gen. Aku tidak pernah menyalahkan mereka. Mutasi gen ini bukan salah mereka, tetapi takdir Tuhan.
Kalian tahu? Kita tidak punya pilihan lain kecuali berdamai dengan keadaan. Tanpa berdamai dan menerima kenyataan, kita takkan mampu menemukan solusi atas masalah yang dialami. Begitu pun diriku. Aku mencoba dan terus mencoba berdamai dengan Hemofilia.
Awal-awal aku mengetahui ada penyakit darah di tubuhku, aku menjerit tak rela. Aku marah. Marah pada diri sendiri, marah pada Tuhan. Percayakah kalian? Aku menghujat Tuhan atas ketetapanNya. Lamat-lamat aku tersadar. Aku bisa apa? Toh penyakit ini sudah terlanjur tertanam di ragaku. Sebuah kenyataan kalau Hemofilia belum ada obatnya. Terapi pemberian faktor 9 rekombinan yang kujalani hanyalah untuk meringankan gejala dan menghadirkan faktor pembekuan darah.
Pernah terlintas di pikiranku untuk bunuh diri. Oh tidak...aku masih belum siap melihat jilatan api neraka. Ingin kuperbaiki dulu hidupku sebelum kembali ke pangkuan Tuhan.
Memperbaiki hidup? Dua kata itu menyusup ke batinku. Bila aku ingin memperbaiki hidup, hal pertama yang harus kulakukan adalah berdamai dengan keadaan. Ok, fine.
Hari demi hari kulewati bersama Hemofilia. Semaksimal mungkin kujaga tubuhku demi menghindari luka. Celakanya, tubuhku gampang sekali memar. Tersandung sedikit, memar. Jatuh dari sepeda, berdarah-darah. Terhantam bola basket, aku pingsan selama dua hari di rumah sakit. Keracunan dan luka di lambung, aku muntah darah. Aku jatuh, bangkit, jatuh lagi, dan bangkit lagi. Kita boleh jatuh delapan kali, tetapi kita harus bangkit sembilan kali.
Kuanggap sakit dan sehat sebagai irama kehidupan. Tuhan, keluarga besar, Calvin, dan Alea selalu bersamaku. Merekalah semangat hidupku.
Setiap hari selalu bersama. Bertemu, bercengkerama, belajar, dan bermain bersama. Pelan-pelan benih cinta mekar di hatiku. Aku jatuh hati, sungguh jatuh hati pada Alea. Kebersamaan menumbuhkan cinta.
Kalian tahu sakitnya cinta bertepuk sebelah tangan? Nah, aku merasakan itu. Kutahu cintaku untuk Alea tak terbalas. Dia memilih sepupuku.
Calvin Wan, he's a special person I think. Jose Gabriel Diaz jelas kalah jauh darinya. Pantas saja Alea memilih Calvin alih-alih aku.
Sayangnya, cintaku pada Alea terlanjur mengakar kuat. Cintaku pada Alea mengalir dalam urat darahku, tertanam di hatiku, menyumsum dalam tulang-tulangku, dan berputar dalam nadiku. Dialah bidadariku, pemberi harapan kehidupan dan optimisme. Aku mencintainya, sangat mencintainya.
Rasa ini hanya kusimpan dalam tabung hati. Kuputuskan untuk menjadi secret admirer. Hahaha, pengecut ya? Yah, aku tidak punya pilihan lain.
Aku stalking sosmed Alea tiap malam. Kuikuti semua pemberitaan tentang prestasinya sebagai model. Kutuliskan puisi berjudul A Tribute To Alea. Tiap pagi, kubuatkan secangkir kopi dan roti panggang berselai coklat favoritnya. Dua benda itu kuletakkan di lokernya. Aku memberikannya secara anonim. Rahasia ini tersimpan hingga hari pernikahan kami.
Doa-doaku mendobrak pintu langit. Tuhan tak meletakkan cinta untuk Alea di hati Calvin. Saat itulah hadir kesempatan untukku. Tanganku terulur tanpa kenal lelah untuk menghapus air mata Alea. Akulah yang mendekapnya sepanjang resepsi pernikahan Calvin dan Sivia.
Waktu menaklukkan batu karang cinta tak terbalas. Kunikahi Alea dengan penuh cinta. Akhirnya, Alea jatuh ke pelukanku.
Selama beberapa tahun, hidupku terasa sempurna. Karierku di perusahaan memasuki titik sukses. Mimpiku traveling ke berbagai belahan dunia terwujud. Kudapatkan wanita yang kucintai. Seedikit ketakutan mengusikku saat Alea hamil. Aku takut anak kami kelak mewarisi penyakitku. Thanks God, ketakutanku tak terbukti. Arini lahir dengan sehat.
Tapi...
Benarkah hidupku sesempurna itu? Setahun lalu, aku membuat pesta mewah untuk merayakan ulang tahun Arini. Tak sengaja Arini memecahkan gelas di pesta ulang tahunnya. Pecahan gelas terinjak oleh kedua kakiku. Darah membanjiri lantai. Para tamu panik. Calvin dan Alea melarikanku ke rumah sakit. Arini menangis tak henti-hentinya di samping tempat tidurku.
"Jangan menangis, Sayang. Arini nggak salah...kan Arini nggak sengaja." kataku lirih di sela hela napasku.
Arini terisak-isak. "Arini yang salah! Arini yang salah! Ayah boleh kok ambil kaki Arini!"
Aku trenyuh. Good job, Jose. Membuat anak satu-satunya menangis. Hatiku terus menyalahkan.
Luka di kakiku terlanjur parah. Kedua alat gerakku tak dapat diselamatkan. Amputasi menjadi pilihan terbaik.
Dan...
Inilah aku. Jose Gabriel Diaz yang lumpuh, tak bisa bergerak bebas. Mantan traveler yang kini tak mampu traveling lagi. Mantan traveler yang kini menjadi penulis buku.
** Â Â
Tak seharusnya
Kau berpaling dariku
Disaat kuharus
Jauh dari dirimu
Karena aku
Masih mencintaimu
Dan yakin diriku
Hanyalah untukmu
Apa yang kurasakan
Tak seperti kenyataan
Berbagi cinta
Selain diriku
Mungkinkah kembali
Segala rasa
Yang t'lah hilang
Walau hati kecilmu
Masih mencintaiku
Tak ingin ku bertahan
Meski kadang
Mendendam
Akankah kau bahagia
Bila cinta tak ada
Untuk dirimu lagi (Marcel-Mendendam).
Kuhentikan permainan piano. Air bening mengalir dari sudut mataku. Kuseka pelan air mataku tepat ketika Arini keluar dari kamarnya.
"Ayah...Ayah nangis?" tanyanya halus.
Ah, aku memang tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Arini. Sejak aku ketambahan satu malaikat kecil lagi, aku merasakan makin banyak yang menyayangiku.
"Nggak kok. Mata Ayah kemasukan debu," dalihku.
Dahi Arini terlipat. "Mana debunya? Arini nggak kena."
Pintu dapur membuka. Wangi cream sup menguar. Alea menghampiri kami berdua. Bergantian dikecupnya keningku dan Arini.
"Makan malam sudah siap..." katanya ceria.
"Horeeee! Ayah, Bunda, ayo kita makan! Arini udah laper!"
"Tunggu sebentar ya, Sayang. Kan Daddy Calvin belum datang."
Aku menggigit bibir bawahku. Menyesal rasanya membiasakan Arini memanggil Calvin dengan sebutan Daddy, bukannya Uncle. Panggilan membiaskan kasih. Calvin dan Arini layaknya ayah dan anak bila bertemu. Aku sering dilupakannya kalau Arini menempel erat pada Calvin.
Ting tong
"Nah itu, Daddy datang!" Arini berteriak girang, lalu ia berlari ke ruang depan.
Aku tersenyum hambar. Kutangkap binar bahagia di mata Alea. Dua menit kemudian, Arini kembali bersama Calvin.
Calvin tetaplah Calvin yang kukenal. Selalu tampil rapi dalam balutan jas. Malam ini, ia mengenakan jas Calvin Klein. Wangi Blue Seduction Antonio Banderas terhirup dari tubuhnya. Ini pun wangi khas Calvin. Tanpa sadar aku membandingkan penampilanku sendiri. Sangat biasa, anya memakai piyama berwarna hitam. Seperti orang yang bersiap tidur. Rambutku masih berantakan. Penampilanku kini berbeda dengan penampilanku sewaktu masih bekerja di perusahaan keluarga. Jangan harap ada bisik-bisik kekaguman lagi dari para karyawati seperti dulu.
"Jose...long time no see." Calvin memelukku. Sikunya bertumpu di pegangan kursi roda.
"Mau apa kamu ke sini? Konsultasi bisnis? Kudengar stasiun Tvmu mau bangkrut." sindirku.
Alea mengerjap. Arini bergelayut manja di lengan Calvin. Suami Sivia itu hanya tersenyum.
"Itu bisa kuatasi, Jose. Bukan karena bisnis aku datang ke sini. Aku hanya ingin melepas rindu denganmu."
"Jangan bohong! Kamu nawarin karyawan biar resign, kan? Itu sama aja kayak PHK massal!" sergahku.
"Jose...sudah, Sayang." Alea berbisik menengahi.
"Aku tidak tega mem-PHK mereka, Jose."
Sebelum suasana makin memanas, Alea menggiring kami ke ruang makan. Terpaksa aku diam. Walau aku tak suka cara Calvin mengatasi masalah dengan perampingan karyawan secara halus.
Makan malam berlangsung dalam kecanggungan. Calvin memberi selamat padaku karena buku Manusia Bandara hasil karyaku menjadi bestseller. Kerak es di hatiku mencair.
Obrolan menjadi lebih santai setelah makan malam. Arini menempel mesra di pelukan ayah keduanya. Calvin mengelus-elus kepala Arini sampai tertidur. Digendongnya putriku ke kamar. Hatiku remuk. Menggendong Arini, sesuatu yang tak mampu lagi kulakukan.
Calvin tidak datang dengan tangan kosong. Dibawakannya satu set koleksi buku cerita anak untuk Arini, sebuket bunga anggrek Cattleya untuk Alea, dan setelan jas Dolce and Gabbana untukku.
"Jose, I have a good news."
"What's up?"
"Ada peluang kamu akan mendapat kaki palsu. Kalau kamu punya kaki palsu, kamu bisa berjalan lagi."
"Wow, that's great. Thank you so much, Calvin."
Bukan, suara bernada riang itu bukan dari bibirku. Tetapi dari bibir Alea. Gurat kebahagiaan mendominasi wajah jelitanya.
"Kenapa kamu peduli padaku?" tanyaku, sama sekali tidak senang.
Belum sempat pertanyaan itu terjawab, Calvin terbatuk. Refleks ia meraih tissue dan menangkupkannya. Calvin terbatuk beberapa kali. Helaian tissue dipenuhi noda darah. Aku, Calvin, dan Alea terbelalak.
"Calvin, are you ok?" tanya Alea khawatir.
Bangunan egoku runtuh seketika. Tidak, ada yang tidak beres. Sepupuku sakit. Jika ia sehat, mana mungkin ia batuk darah?
"I'm good," jawab Calvin menenangkan.
"Nggak. Kamu pasti lagi kurang sehat. Calvin...bilang sama aku. Kamu kenapa?" selaku.
Ya, Tuhan, aku khawatir. Haruskah ada lagi yang menderita penyakit darah selain diriku?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H