"Horeeee! Ayah, Bunda, ayo kita makan! Arini udah laper!"
"Tunggu sebentar ya, Sayang. Kan Daddy Calvin belum datang."
Aku menggigit bibir bawahku. Menyesal rasanya membiasakan Arini memanggil Calvin dengan sebutan Daddy, bukannya Uncle. Panggilan membiaskan kasih. Calvin dan Arini layaknya ayah dan anak bila bertemu. Aku sering dilupakannya kalau Arini menempel erat pada Calvin.
Ting tong
"Nah itu, Daddy datang!" Arini berteriak girang, lalu ia berlari ke ruang depan.
Aku tersenyum hambar. Kutangkap binar bahagia di mata Alea. Dua menit kemudian, Arini kembali bersama Calvin.
Calvin tetaplah Calvin yang kukenal. Selalu tampil rapi dalam balutan jas. Malam ini, ia mengenakan jas Calvin Klein. Wangi Blue Seduction Antonio Banderas terhirup dari tubuhnya. Ini pun wangi khas Calvin. Tanpa sadar aku membandingkan penampilanku sendiri. Sangat biasa, anya memakai piyama berwarna hitam. Seperti orang yang bersiap tidur. Rambutku masih berantakan. Penampilanku kini berbeda dengan penampilanku sewaktu masih bekerja di perusahaan keluarga. Jangan harap ada bisik-bisik kekaguman lagi dari para karyawati seperti dulu.
"Jose...long time no see." Calvin memelukku. Sikunya bertumpu di pegangan kursi roda.
"Mau apa kamu ke sini? Konsultasi bisnis? Kudengar stasiun Tvmu mau bangkrut." sindirku.
Alea mengerjap. Arini bergelayut manja di lengan Calvin. Suami Sivia itu hanya tersenyum.
"Itu bisa kuatasi, Jose. Bukan karena bisnis aku datang ke sini. Aku hanya ingin melepas rindu denganmu."