Aku mengidap Hemofilia tipe B. Gangguan pembekuan darah akibat kehilangan faktor pembeku darah 9. Satu dari lima ribu bayi laki-laki mengidap Hemofilia tipe ini. Aku menyebutnya penyakit pria, karena Hemofilia lebih banyak diderita laki-laki. Walau kedua orang tuaku tidak menderita Hemofilia, mereka bersifat sebagai pembawa gen. Aku tidak pernah menyalahkan mereka. Mutasi gen ini bukan salah mereka, tetapi takdir Tuhan.
Kalian tahu? Kita tidak punya pilihan lain kecuali berdamai dengan keadaan. Tanpa berdamai dan menerima kenyataan, kita takkan mampu menemukan solusi atas masalah yang dialami. Begitu pun diriku. Aku mencoba dan terus mencoba berdamai dengan Hemofilia.
Awal-awal aku mengetahui ada penyakit darah di tubuhku, aku menjerit tak rela. Aku marah. Marah pada diri sendiri, marah pada Tuhan. Percayakah kalian? Aku menghujat Tuhan atas ketetapanNya. Lamat-lamat aku tersadar. Aku bisa apa? Toh penyakit ini sudah terlanjur tertanam di ragaku. Sebuah kenyataan kalau Hemofilia belum ada obatnya. Terapi pemberian faktor 9 rekombinan yang kujalani hanyalah untuk meringankan gejala dan menghadirkan faktor pembekuan darah.
Pernah terlintas di pikiranku untuk bunuh diri. Oh tidak...aku masih belum siap melihat jilatan api neraka. Ingin kuperbaiki dulu hidupku sebelum kembali ke pangkuan Tuhan.
Memperbaiki hidup? Dua kata itu menyusup ke batinku. Bila aku ingin memperbaiki hidup, hal pertama yang harus kulakukan adalah berdamai dengan keadaan. Ok, fine.
Hari demi hari kulewati bersama Hemofilia. Semaksimal mungkin kujaga tubuhku demi menghindari luka. Celakanya, tubuhku gampang sekali memar. Tersandung sedikit, memar. Jatuh dari sepeda, berdarah-darah. Terhantam bola basket, aku pingsan selama dua hari di rumah sakit. Keracunan dan luka di lambung, aku muntah darah. Aku jatuh, bangkit, jatuh lagi, dan bangkit lagi. Kita boleh jatuh delapan kali, tetapi kita harus bangkit sembilan kali.
Kuanggap sakit dan sehat sebagai irama kehidupan. Tuhan, keluarga besar, Calvin, dan Alea selalu bersamaku. Merekalah semangat hidupku.
Setiap hari selalu bersama. Bertemu, bercengkerama, belajar, dan bermain bersama. Pelan-pelan benih cinta mekar di hatiku. Aku jatuh hati, sungguh jatuh hati pada Alea. Kebersamaan menumbuhkan cinta.
Kalian tahu sakitnya cinta bertepuk sebelah tangan? Nah, aku merasakan itu. Kutahu cintaku untuk Alea tak terbalas. Dia memilih sepupuku.
Calvin Wan, he's a special person I think. Jose Gabriel Diaz jelas kalah jauh darinya. Pantas saja Alea memilih Calvin alih-alih aku.
Sayangnya, cintaku pada Alea terlanjur mengakar kuat. Cintaku pada Alea mengalir dalam urat darahku, tertanam di hatiku, menyumsum dalam tulang-tulangku, dan berputar dalam nadiku. Dialah bidadariku, pemberi harapan kehidupan dan optimisme. Aku mencintainya, sangat mencintainya.