Tentang Cattleya Yang Menangis
Dulu, dulu sekali, Calvin memanggilku "My Cattleya". Sejak kecil, kami bersahabat. Kami bersekolah di tempat yang sama dari kindergarten sampai junior high school. Saat memasuki bangku senior high school, kami terpisah. Calvin di Bunda Mulia, aku di Santa Angela. Kami punya banyak kesamaan: bersekolah di lembaga pendidikan berbasis agama yang bukan keyakinan kami, berasal dari keluarga multi religion, dan sering dianggap orang asing di negeri kelahiran.
Kesamaan itulah yang mendekatkan kami. Aku dan Calvin bertetangga. Orang tua kami saling kenal. Tiap akhir pekan, kami saling mengundang ke rumah satu sama lain untuk makan malam bersama.
Calvin dan aku teriasa dengan pluralisme. Sebagian besar keluarga Calvin beragama Buddha. Terdapat dikotomi agama dalam lingkup keluargaku: sebagian Muslim, sebagian Katolik. Kami terbiasa merayakan Natal, Lebaran, Paskah, Imlek, dan Waisak bersama. Semuanya berjalan harmonis, tanpa ternoda intoleransi. Kuncinya hanya satu: jangan membicarakan perbedaan agama selama berkumpul bersama. Membicarakan perbedaan pandangan justru akan meretakkan kebersamaan. Bersikaplah seolah perbedaan bukan tembok pembatas yang kokoh. Jangan pernah membangun tembok, tetapi bangunlah jembatan.
Saat azan berkumandang, tak ada yang saling mengingatkan. Kesadaran tumbuh dengan sendirinya. Kegiatan otomatis terhenti. Obrolan terputus jadi diam. Kami yang Muslim bergegas mengambil wudhu. Tanpa diminta, keluarga kami yang Non-Muslim menyediakan sajadah dan ruang khusus untuk shalat. Keriuhan kembali tercipta saaat kami selesai menegakkan perintah Allah.
Kami terdidik dalam keluarga yang super pengertian. Tak pernah kami risau jika diundang ke rumah Mommy. Mommy dan Daddy tak pernah memasak babi. Begitu pula kedua orang tua Calvin. Katanya, mereka cukup jalan kaki ke pecinan bila ingin makan babi. Masakan di rumah mereka dijamin halal.
Bulan puasa tiba. Tiap Sabtu dan Minggu, Mommy dan Daddy menggelar acara buka puasa bersama. Seratus porsi takjil gratis dibagikan untuk duafa, satpam kompleks, anak jalanan, dan asisten rumah tangga. Dari tahun ke tahun, Mommy dan Daddy selalu bekerjasama dengan kedua orang tua Calvin untuk mengadakan acara itu. Mereka bergantian menjadi tuan rumah. Uang pribadi mereka kucurkan tanpa ragu untuk membahagiakan warga Muslim di bulan mulia.
Selama bulan puasa, keluarga kami yang Non-Muslim tidak pernah makan siang di depan kami. Sebisa mungkin mereka membuat kami nyaman. Betapa besar kebanggaanku pada keluargaku dan keluarga Calvin.
Dari Calvinlah aku kenal Jose. Sosok pemuda bermata sipit yang introvert dan penyendiri. Meski tertutup, Joselah orang pertama yang berdiri saat panggilan shalat berbunyi. Bunga cinta yang mekar di hatiku bukanlah untuknya. Kalian yang mengenalku pasti tahu kemana hatiku bermuara.
Bukan, bukan pada Jose. Melainkan pada figur malaikat tampan bermata sipit yang tengah berlari-lari ke arahku detik ini. Blazernya berkibar diterpa angin. Senyumku tergurat manis menyambutnya.