"Body mentereng, tapi nggak laku! Makanya jangan kemahalan!" ejek Xiaomi.
Aku bergeming. Kubiarkan saja. Kujelaskan pun mereka tak paham. Hal-hal spesial memang sulit dimengerti.
"Iya dong. Kayak kita-kita ini ajalah. Kualitas ok, harga ok." timpal Vivo.
"Hahaha, iPhone nggak laku! iPhone kemahalan!" Huawei menari-nari kegirangan di atas rak. Dia tertawa-tawa, puas sekali membullyku.
Kemarahanku tersulut. Tidak, ini tidak benar. Kudengar dari penciptaku kalau penjualan iPhone membuat saham Apple melonjak tinggi. Ketika kusampaikan fakta ini pada teman-teman penghuni rak, mereka tertawa.
"Itu kan di Amerika sana! Nah kalau di toko ini...? Kamu nggak laku-laku tuh, karena kemahalan!" seru Oppo sambil tertawa.
"Ah, susah berdebat sama barang biasa kayak kalian." cetusku kesal.
"Mendingan barang biasa tapi laris manis, dari pada barang mahal tapi nggak laku." Huawei membela diri.
Aku mencibir. Lihat saja, sebentar lagi aku pasti laku.
Aku larak-lirik ke kanan dan ke kiri. Para pegawai toko dan calon pembeli anteng saja. Mereka sama sekali tak terganggu dengan perdebatan kami. Bukankah dari tadi kami berisik sekali? Mereka tenang-tenang saja tuh. Sibuk memilih produk, menjelaskan spesifikasi, dan melakukan pembayaran. Sebagian besar pembeli sudah beralih membayar secara nontunai. Selamat tinggal uang cash. Dalam hati aku berdoa agar cepat laku.
"Permisi,"