Apel Tergigit Merana
Orang-orang memanggilku iPhone X. Aku banyak digandrungi milenial. Akulah si raja smartphone. Hargaku mahal, bodyku keren, dan nilaiku prestisius. Siapa pun yang memilikiku takkan rugi.
Jutaan penduduk dunia berlomba-lomba mendapatkanku. Mereka yang berhasil membawaku pulang adalah pemenang sejati. Memilikiku menunjukkan pemiliknya kaya dan berkelas. Bahkan, diriku pernah dimasukkan dalam item seserahan mewah untuk mantan penyanyi cilik.
Tinggiku 5,65 inchi. Lebarku 2,79 inchi. Kapasitas memoriku 256 GB. Tubuhku berwarna silver. 120 gram beratku. Resolusiku 2436 x 1125 piksel pada 458 ppi. Super retina HD layarku. Diriku tahan cipratan, air, dan debu. Canggih kan aku?
Layarku mempunyai sudut melengkung yang indah. Aku mendukung berbagai bahasa dan karakter. Sentuhanku 3D Touch. 12 MP kamera telefoto dan wide-angleku. Penutup lensaku terbuat dari kristal dan safir.
Bodyku yang mewah membuat banyak orang tergila-gila. Mereka merogoh kocek dalam-dalam demi bisa membawaku pulang. Tanpa promosi pun, semua orang tahu kelebihanku. Riskan aku tersaingi dengan teman-temanku dari berbagai merk smartphone lainnya.
Aku bangga menyandang logo apel tergigit. Logo inilah yang membuat diriku didambakan banyak orang. Kesombonganku membengkak seiring bersinarnya popularitasku.
Ups, katakanlah aku arogan. Sebutlah aku tidak bisa merangkul semua kalangan. Silakan saja. Begini ya. Siapa pun boleh memilikiku, asalkan mereka punya budget 8-14 juta. Tuh kan? Aku masih baik. Siapa bilang aku tidak merangkul semua kalangan?
Waktu aku masih di gerai ponsel, teman-temanku yang beda merk pernah membullyku. Mereka mengataiku terlalu mahal. I don't care. Ada harga, ada kualitas. Aku ya aku. Barang mahal yang ditukar dengan uang baru boleh dibawa pulang. Bukannya mereka, barang-barang murahan yang gampang ditebus dengan budget sejuta-dua juta.
Smartphone dari negeri tirai bambulah yang paling getol membullyku. Aku merasa tersudut. Sebaliknya, mereka merasa laku karena barang mereka cepat habis.
"Body mentereng, tapi nggak laku! Makanya jangan kemahalan!" ejek Xiaomi.
Aku bergeming. Kubiarkan saja. Kujelaskan pun mereka tak paham. Hal-hal spesial memang sulit dimengerti.
"Iya dong. Kayak kita-kita ini ajalah. Kualitas ok, harga ok." timpal Vivo.
"Hahaha, iPhone nggak laku! iPhone kemahalan!" Huawei menari-nari kegirangan di atas rak. Dia tertawa-tawa, puas sekali membullyku.
Kemarahanku tersulut. Tidak, ini tidak benar. Kudengar dari penciptaku kalau penjualan iPhone membuat saham Apple melonjak tinggi. Ketika kusampaikan fakta ini pada teman-teman penghuni rak, mereka tertawa.
"Itu kan di Amerika sana! Nah kalau di toko ini...? Kamu nggak laku-laku tuh, karena kemahalan!" seru Oppo sambil tertawa.
"Ah, susah berdebat sama barang biasa kayak kalian." cetusku kesal.
"Mendingan barang biasa tapi laris manis, dari pada barang mahal tapi nggak laku." Huawei membela diri.
Aku mencibir. Lihat saja, sebentar lagi aku pasti laku.
Aku larak-lirik ke kanan dan ke kiri. Para pegawai toko dan calon pembeli anteng saja. Mereka sama sekali tak terganggu dengan perdebatan kami. Bukankah dari tadi kami berisik sekali? Mereka tenang-tenang saja tuh. Sibuk memilih produk, menjelaskan spesifikasi, dan melakukan pembayaran. Sebagian besar pembeli sudah beralih membayar secara nontunai. Selamat tinggal uang cash. Dalam hati aku berdoa agar cepat laku.
"Permisi,"
Suara bass bertimbre berat tetapi empuk itu memburai lamunanku. Ada malaikat datang! Oh God, he's so handsome! Batinku berdebar-debar. Semoga dia membawaku pulang.
"Iya, silakan. Mau cari apa?" balas salah seorang pelayan toko dengan ramah.
"Ada iPhone X?"
Yeeeeay, aku terjual! Aku terjual! Aku tersenyum lebar ke arah teman-temanku. Mereka automingkem. Tak sanggup lagi meledekku.
"Oh, ada. Sebentar..."
Etalase dibuka. Aku dibawa keluar. Aku berdebar. Rasanya seperti mempelai wanita bertemu mempelai wanita.
Oh my God, aku mau pingsan! Malaikat tampan bermata sipit itu menyentuhku, tersenyum padaku, dan menatapku lembut. Inikah calon suamiku? Ah, betapa senangnya. Silakan kalian iri, teman-temanku yang jaha. Pasti kalian belum pernah dijamah tangan berbalut jas hitam selembut ini.
Aku melayang. Begini ya, rasanya disentuh orang ganteng. Aku mau, mau sekali dibawa pulang. Bawalah aku pulang, malaikat tampan bermata sipit.
Nah, benar kan? Teman-temanku melotot iri. Kulempar senyum termanis. Sebentar lagi aku takkan berdesakan dengan mereka.
** Â Â
Sejak saat itulah aku bersama Calvin. Bulan berganti tahun. Tanpa terasa, dua tahun aku membersamai hari-harinya.
Awalnya, aku kecewa. Ternyata malaikatku sudah beristri. No problem, aku lebih dekat dibanding istrinya. Calvin membawaku kemana-mana kecuali ke kamar mandi. Ia golongan pria bersih. Tak pernah mengotoriku dengan membawanya ke toilet.
Bila Calvin hanya satu-dua jam bersama Sivia, ia menemaniku selama 24 jam. Aku selalu tersimpan di saku jasnya kemana pun dia pergi. Ke kantor, aku diajak. Ke resto untuk dinner bersama kawan atau meeting, aku selalu ikut. Ke Singapore, Tiongkok, Vietnam, Ujung Genting, dan negara-negara lainnya untuk perjalanan bisnis, aku tak pernah lupa dibawa. Diriku pernah melihat The Great Wall, Menara Eiffel, Menara Pisa, Changi Airport, Hanoi, dan Coloseum Verona, semua itu berkat kebaikan hati Calvin.
Calvin mempercayaiku lebih dari ia mempercayai Sivia. Banyak file penting dititipkannya padaku. Mulai dari draf artikel, dokumen perusahaan, revisian proposal bisnis, foto-foto pernikahannya dengan Sivia, sampai deretan foto masa kecil. Ah, bangganya aku bisa dipercaya. Aku janji akan menjaga semua file titipan Calvin sebaik mungkin. Akan kubentengi diriku dari serbuan virus. Kalau sampai virus merampok titipan Calvin, berantakanlah hatiku.
Bila Calvin terlalu sibuk, aku hanya duduk manis di saku jasnya. Lain halnya kalau dia sedang santai, misalnya saat weekend. Tubuhku yang bohai akan digenggamnya seharian.
Sabtu ini di luar kebiasaan. Aku dibiarkan tergeletak di meja samping tempat tidur. Gelisah, kulirik ke luar jendela. Langit dibasuh hujan. Gumpalan awan Nimbus berarak menakutkan. Hmmm, hujan. Pantas saja hawanya dingin begini.
Plak! Buk! Buk! Buk!
Bunyi apa itu? Aku menoleh ke pintu. Pemandangan di sana membuatku shock.
Sivia kembali mengamuk. Dorongan untuk self harm mendesak-desak dirinya. Calvin berusaha keras melarang. Sebagai ganti, dia membiarkan Sivia memukuli dirinya. Lihatlah, Sivia begitu brutal melukai Calvin.
Tangisku pecah. Aku sedih, sedih sesedih-sedihnya. Wanita secantik Sivia teganya mencakar tangan, menggigit lengan, dan menampar pipi Calvin berkali-kali. Seperti inikah Princess yang sesungguhnya?
"Stop! Stop! Berhenti menyakiti Calvinku!" jeritku histeris.
Sivia mengabaikanku. Dia terus saja melukai Calvin sampai puas. Samar kudengar rintih kesakitan tertahan. Calvin pastilah sangat kesakitan. Tapi dia ikhlas, teramat ikhlas disakiti berulang kali.
"Aku mau pergi! Jangan cari aku!" gertak Sivia.
Ia memberikan salam perpisahan berupa pukulan di kepala Calvin. Pukulan itu menghasilkan luka kecil. Aku tergugu. Kucaci-maki Sivia. Baik Calvin maupun Sivia tidak mendengarkanku.
Sejurus kemudian, Sivia merenggut pintu kamar hingga terbuka. Travel bag tersandang di bahunya. Calvin tak kuasa mencegah istrinya pergi. Tubuhnya terlalu lemah untuk mengejar Sivia.
Ow malaikat tampan bermata sipitku, kenapa semuanya jadi begini? Kenapa kamu rela dilukai berkali-kali? Aku ingin memelukmu, ingin menghiburmu. Demi Tuhan, aku tak terima tubuhmu dilukai hanya karena penyakit kejiwaan yang dialami seorang wanita.
Bicara tentang wanita, sejak tadi tubuhku terus bergetar. Pop up bertuliskan Alea berpendar. Alea, pastilah seorang wanita. Wanita berparas cantik dengan hidung mancung dan rambut pendek, begitu yang kulihat di foto kontaknya.
Getaran itu terus berlanjut. Alea sangat mencemaskan Calvin. Bisa kurasakan itu.
Hujan kian deras. Langit menggelap seolah malam datang lebih cepat. Sambaran petir memperparah suasana. Sabtu pagi yang suram.
Di tengah kesuraman itu, Alea datang. Ia menghambur masuk dengan rambut basah. Cepat dipapahnya Calvin ke tempat tidur. Diambilnya kain kompres dan obat luka.
"Sivia lagi, kan?" bisiknya.
Calvin menggeleng. Susah payah memaksakan senyum. Alea mengernyitkan dahi.
"Calvin, jangan tutupi apa pun dariku. Sivia kan yang melukaimu?" desak Alea.
"Sivia hanya bercanda, Alea. Dia mendorongku dan..."
"Sivia melampiaskan dorongan self harmnya padamu, Calvin Wan!"
Ya, benar. Alea benar. Aku mendukung penuh pernyataannya.
"Calvin, ini tak bisa dibiarkan. Istrimu sakit jiwa."
Refleks Calvin menepis kain kompresan di tangan Alea. Dia bangkit duduk, menatap nanar seraut wajah cantik di hadapannya.
"Jangan...pernah...menyebut...istriku...seperti itu, Alea. Istriku istimewa." kata Calvin, jelas dan tegas.
Alea menghempas napas pasrah. Kedua matanya berkaca-kaca. Kutebak Alea menangis karena dua alasan: cemburu dan sedih. Mungkin saja Alea memendam cinta pada suami orang. Sedihnya Alea sama dengan kesedihanku.
"Izinkan aku mengusap luka-lukamu, Calvin." isaknya.
"Kamu sudah punya Jose dan Arini, Alea. Mereka lebih penting."
"Aku yakin Jose bisa menjaga Arini. Kamu tidak kalah penting."
"Jangan pikirkan aku."
Bergerak sangat hati-hati, Calvin berjalan ke dekat grand piano. Dimainkannya piano dengan hati gundah. Kulihat embun bening menjatuhi pelupuk mata Calvin. Pada saat bersamaan, hidung Calvin berdarah.
Hadirmu hanya sekilas di hidupku
Namun meninggalkan luka
Tak terhapus oleh waktu
Tertawa hanya tuk tenangkan jiwa
Namun yang kurasa hampa
Semua hilang tak tersisa
Bayangkan
Rasakan
Bila semua berbalik kepadamu
Bayangkan
Rasakan
Bila kelak kau yang jadi diriku
Terdiam di tengah heningnya malam
Mencoba tuk memaafkan
Dan melupakan kesedihan
Maaf sangat sulit kau ucapkan
Selalu ada pembenaran
Atas hal yang engkau lakukan
Bayangkan (bayangkan)
Rasakan (rasakan)
Bila semua berbalik kepadamu
Bayangkan (bayangkan)
Rasakan (rasakan)
Bila kelak kau yang jadi diriku
(Bayangkan) bayangkan diriku
(Rasakan) rasakan diriku
Bila semua berbalik kepadamu
(Bayangkan) bayangkan dan rasakan
(Rasakan)
Bila kelak nanti kau yang jadi diriku
Bayangkan (bayangkan diriku)
Rasakan (rasakan diriku)
(Bila semua berbalik kepadamu, kepadamu)
Bayangkan (bayangkan diriku)
Rasakan (rasakan diriku)
Bila kelak kau yang jadi diriku
Hadirmu hanya sekilas di hidupku
Namun meninggalkan luka tak terhapus oleh waktu (Maudy Ayunda-Bayangkan Rasakan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H