"Belum terbiasa desak-desakan kayak gini ya?" ejek laptop.
"Ya nggaklah! Biasanya kan aku duduk cantik di rak!" seruku jengkel.
"Yah, itung-itung lingkungan baru. Toh kamu senang kan, dibawa sama pemakaimu tersayang?"
Iya juga sih. Ini kali pertama Calvin membawaku bepergian. Lumayan juga, sekalian jalan-jalan.
Bis melaju lambat. Beberapa ratus meter sekali berhenti untuk menaik-turunkan penumpang. Alih-alih bosan, Calvin malah senang menaiki moda transportasi satu ini. Seumur hidup ia belum pernah naik bis. Kuperhatikan Calvin sangat menikmatinya.
Aku tertawa geli. Hahaha, aku baru sadar. Calvin penumpang bis paling necis. Sepatunya Balmain, jasnya Christian Dior, jam tangannya Guess, dan kacamatanya Oakley. Bandingkan dengan penumpang lainnya. Tak ada yang memakai jas. Para prianya memakai kemeja dan dasi. Sepatu mereka? Yah paling-paling harganya tak lebih dari dua ratus ribu. Kacamata? Tanpa merk. Jelas kebantinglah kalau disandingkan dengan Calvin.
Satu jam berselang, Calvin tiba di kantor. Mulailah hari yang panjang. Meeting sampai habis makan siang. Mempelajari dokumen-dokumen dan menandatanganinya. Merevisi proposal kerjasama dengan perusahaan tetangga. Pertemuan internal dengan dewan direksi. Ah, pokoknya melelahkan.
Kesibukan Calvin baru berakhir menjelang senja. Kupikir ia akan naik taksi atau menelepon supirnya. Olala, ternyata Calvin ingin naik bis lagi! Dasar orang kaya.
Sebelum naik bis, Calvin mampir sebentar ke sebuah cafe. Hatiku berdenyut sakit. Dia membeli vanilla latte dalam cup kertas! Aku berteriak-teriak. Naas, Calvin tak mendengar teriakanku. Suaraku teredam tas.
"Calvin! Jangan pakai itu! Pakai aku saja! Aku di sini!" jeritku.
Dokumen, laptop, dan tab kembali tertawa mengejekku. Kata mereka, percuma saja aku berteriak. Calvin takkan dengar.