Aku tersedu. Oh tidak, Calvin pastilah menyuarakan jeritan pilu hatinya lewat lagu. Dia mengenang betapa indahnya kebersamaan dengan Sivia di masa lalu. Kini, sikap Sivia berubah seratus delapan puluh derajat.
"Kenapa kamu menangis?" tanya saudara kembarku.
Aku diam. Lagu yang dibawakan Calvin begitu lembut dan menyayat. Teman-temanku ikut bertanya. Mereka khawatir melihatku tetiba bersedih.
"Kasihan aja sama tuanku...dia dilukai istrinya terus." ratapku.
Si H-RV jelek berdecak. "Alah, lebai. Udah biasa kali, tuan kita digituin."
"Apa maksud kamu?" jeritku frustrasi.
"Iya," Si Rubicon nimbrung.
"Tuan kita sering dimaki, dibodoh-bodohin sama istrinya, dan disakitin mulu. Kasian deh pokoknya. Lagian, perempuan kayak gitu ngapain dinikahin? Untung deh dia nggak pernah duduk bareng kita."
Kurunut ingatanku. Ya, Sivia hampir tak pernah duduk semobil dengannya. Mereka baru akan pergi bersama jika terpaksa. Misalnya, saat Calvin atau Sivia mendapat undangan ke pesta pernikahan dan mereka harus tampil bersama.
Setengah jam kemudian, Calvin muncul. Jasnya bernoda darah. Plester putih menyembul sekilas dari balik lengannya. Kedua pipinya memar. Iba, iba hatiku melihatnya.
Calvin membuka pintuku. Mesin menderu halus. Aku siap berangkat.