Terdengar hantaman, tamparan, dan teriakan kesakitan. Pasti Calvin kena lagi. Lewat gosip teman-temanku sesama penghuni garasi, tahulah aku kalau Calvin merelakan diri dilukai istrinya. Sivia, istrinya, merupakan seorang penyintas self injury.Â
Calvin tidak tega melihat Sivia terus melukai diri. Sebagai gantinya, dia merelakan diri dilukai berkali-kali. Kini Sivia menemukan penyaluran jika ingin melukai.
Tak lama, terdengar derap langkah sepatu berhak tinggi menghentak lantai marmer. Disusul derap langkah lain. Kudengar Calvin berkata,
"Biar kuantar ya..."
"Nope. Aku naik taksi." ketus Sivia.
Bodohnya kamu, Sivia. Lebih enak pergi bersamaku. Apa enaknya naik taksi online? Belum tentu armadanya sebagus diriku. Joknya tak seempuk aku. Acnya tak sedingin di dalam tubuhku. Lalu kamu berisiko tertular virus flu karena taksi online sudah sering ditumpangi banyak orang. Bodoh, bodoh sekali.
"I wanna pick you up, Princess." bujuk Calvin halus..
"No! Big no! I like taxi better than your Alphard."
Kurang ajar betul. Mau rasanya kutumpahkan makian ke muka Sivia. Beraninya dia memilih taksi ketimbang diriku. Kurang apa aku ini?
Dapat aku dengar desahan lelah Calvin. Deru mobil terdengar di luar rumah. Itu pastilah taksi yang dipesan Sivia. Benar kan? Detik berikutnya, kudengar suara tak-tok sepatunya membelah paving block.
Sunyi sesaat. Dimana Calvin? Mengapa dia tak segera mengendaraiku? Bukankah ia harus ke kantor? Sudah jam berapa ini? Nanti dia bisa terlambat.