Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Calvin, Jose, Alea] "Self Harm"

7 September 2019   06:00 Diperbarui: 7 September 2019   06:06 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Pixabay.com/Mysticsartdesign

Anak tunggal berparas tampan itu menundukkan wajah. Memaksakan mata sipitnya terus menelusuri kata demi kata yang membentuk rangkaian kalimat di layar. Ia tahu pasti, untaian kalimat yang tersusun rapi dalam sebuah artikel itu ditulis Ayahnya.


"Ayah..."

**   

Mengurus kematian tidak pernah menyenangkan.

Pada kalimat terhenti, Jose terhenti. Merasa tak sanggup lagi membaca artikel sampai tuntas. Hatinya remuk.

Sesuatu robek di lapisan terluar jiwanya. Ayah Calvin yang sibuk mengurus kematian. Ayah Calvin yang tidak pernah cinta padanya. Tubuh Jose menegang di pinggir kursi.

Dengan kaki serasa digantungi barbel, Jose melangkah ke depan grand piano. Dia bermain piano tanpa bernyanyi. Namun, yang dimainkannya jelas sebuah lagu.

Dimana dirimu

Ingatkah padaku

Ku selalu disini

Meniti bayangan

Kuterimakan keadaanku

Mencintaimu tanpa mampu memiliki

Kau yang terindah

Mengisi aku di sendiriku

Seperti tinta biru

Yang takkan terhapus di hatiku (Isyana Sarasvati-Kuterimakan).

**   

Bunda Alea masuk ke kamarnya. Jose tersenyum, tampil baik-baik saja. Lengannya terentang memeluk wanita cantik dengan knee length dress marun itu.

"Miss you, Son." ujar Bunda Alea.

Sambil membelai rambut Jose, Bunda Alea menceritakan banyak kejadian sepanjang minggu ini. Tentang jadwal yang berantakan. Peralihan beberapa proyek pekerjaan. Menemui teman yang akan melakukan penelitian di Barcelona. Jose mendengarkan dan berusaha memahami sebisanya.

"How's your week?" tanya Bunda Alea lembut.

"Normal," jawab Jose singkat.

Senyum penuh arti bermain di bibir Bunda Alea. "Kamu ini seperti Ayahmu."

Seperti Ayah? Biasanya, Jose bangga dipuji begitu. Kali ini tidak. Ayah Calvin yang selalu membuatnya merasa ditinggal-tinggal. Ayah Calvin yang menjauhkan Jose dari keluarga besar. Keluarga Ayah Calvin tak pernah menyukai Jose.

"Ok. Bunda pergi lagi ya. Take care."

Dengan satu kecupan kilat, Bunda Alea beranjak. Meninggalkan Jose sendirian.

Selepas kepergian Bunda Alea...

Prang!

Gelas kristal di atas meja belajar pecah. Pigura-pigura foto yang semula terpajang di dinding kini menjadi serpihan. Jose menusukkan pecahan gelas dan pigura ke tangannya. Bergantian ia lakukan semua itu.

Darah merembes ke karpet. Jose tidak merasakan sakit. Ia justru menikmatinya.

Luka adalah puncak kenikmatanku

Darah adalah pelampiasan

Asinnya air mata kalah nikmat dibanding anyirnya darah

Lukaku, darahku, tiada yang lebih indah dari itu

Kulari dari derita dengan luka

Jose Gabriel Calvin yang tampan, yang selalu ingin tampil sempurna dan inspiratif di depan Bunda Alea, nyatanya menyimpan beban berkilo-kilo luka dalam dirinya. Luka yang ia buat sendiri dengan kesadaran penuh tanpa paksaan. Bukan ingin cari perhatian, bukan karena egoistis, hanya ingin melarikan diri dari kesepian dan kesedihan.

Bayangan Ayah Calvin berkelebatan. Ayah Calvin dengan kacamata Oakley dan jas hitamnya, membungkuk mencium kening sosok perempuan baya di peti mati. 

Ayah Calvin yang meletakkan lilin putih, dupa, dan buah-buahan di altar sembahyang. Semakin jelas bayangan itu, semakin dalam Jose menghujamkan pecahan kaca ke tangan dan kakinya.

Satu tangannya yang belum terluka menarik rambutnya sendiri. Potongan artikel dan kesendirian membikinnya trigger. Jose tak lagi merasakan sakit.

Tangan dan kaki Jose berdarah. Tertatih ia melangkah ke kamar mandi full marmer di dalam kamarnya. Siku Jose menghantam bibir bathtub. Ia sendiri yang menghantamkannya.

Shower menyala. Air dingin mengucur deras. Bocah tampan yang menulis buku tentang traveling itu duduk memeluk lutut di bawah shower. Membiarkan air dingin menyerbu sekujur tubuhnya.

Sabun dan shampoo tak lagi penuh. Sebagian isinya telah ditumpahkan dengan sengaja. Kedua mata Jose terasa perih. Cara lain menyakiti diri yang lebih tinggi dosis kesakitannya.

**   

Ayah Calvin mencium keningnya. Ayah Calvin mencium matanya. Jose melempar senyum menawan, memberi kesan ia melewati harinya dengan normal.

"Ayah..." kata Jose perlahan.

"Iya, Sayang?"

"Bolehkah Jose tidak membaca artikel Ayah yang terbaru?"

"Boleh."

Jose berterima kasih, lalu menaiki anak tangga ke lantai atas. Sang ayah tidak perlu tahu luka-lukanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun