Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Calvin, Jose, Alea] Puisi untuk Sivia

19 Juli 2019   06:00 Diperbarui: 19 Juli 2019   06:11 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Pixabay.com

Puisi untuk Sivia

"Bunda pernah kemoterapi?"

"Nggak pernah. Keep strong, my dearest son."

Sabtu ini lebih menegangkan. Phlebotomy rasanya bukan apa-apa dibandingkan kemoterapi. Bayangkan dan rasakan, lenganmu ditusuk jarum penuh berisi obat-obat keras. Jam berikutnya, tubuhmu diguncang rasa dingin. Selera makanu dirobek rasa mual yang menghebat.


Membayangkan semua detail itu, Jose tetap kuat. Dia ingin sekuat Ayah Calvin. Sebesar apa pun rasa kecewanya pada sang ayah, tetap saja kekaguman dan cinta itu lebih besar. Bila cinta seluas samudera, kekecewaan hanya seluas danau.

"Ayah pernah kemoterapi, Bunda." ujar Jose tetiba.

Bunda Alea mengangguk. Ia sudah tahu soal itu. Lembut dibenahinya selimut Jose.

"Jose pasti sekuat Ayah. Mau Bunda panggilkan Ayah ke sini?" tawar Bunda Alea halus.

"Nggak. Cukup Bunda aja." tolak Jose.

Sampai kapan mau kecewa terus? Bisik hati wanita itu masygul. Jose belum sepenuhnya mengerti. Biar bagaimanapun, Ayah Calvin tak sempurna. Terkadang dia bisa membuat anaknya kecewa.

Tadi pagi, Jose menolak ditemani kemoterapi oleh Ayah Calvin. Dia hanya mau bersama Bundanya. Jose tak tahu betapa perih hati Ayah Calvin mengalami penolakan begitu. Ayah Calvin yang berpembawaan tenang, takkan menampakkannya di depan sesiapa.

Kemoterapi dimulai. Obat-obat disuntikkan ke lengan. Tujuh jam lamanya Jose harus bertahan merasakan sakit. Biarlah, biarlah begitu. Demi menjemput kesembuhan.

Ada yang menguatkannya hari ini: kehadiran Bunda Alea dan kesempatan bertemu pengantar bunga misterius. Dalam hati, Jose berharap gadis kecil itu mengantarkan bunga ke kamar rawatnya. Kalau tidak, ya tidak apa-apa.

Kurangi harapan, begitu kata Ayah Calvin. Jangan terlalu berharap pada sesuatu yang tidak bisa kita kontrol. Mau tak mau Jose ingat itu. Petuah-petuah Ayahnya terlanjur tertanam kuat dalam memori.

"Apa yang kaurasakan, Sayang?" tanya Bunda Alea lembut.

"Dingin..." rintih Jose, merapatkan selimutnya.

Bunda Alea mendekapnya. Dekapan ini membuat kepingan-kepingan kenangan berhamburan. Mengapa rasanya persis seperti dekapan Ayah Calvin? Tidak, Jose sedang kecewa berat dengan Ayahnya. Jangan diingat-ingat terus.

Dengan lembut, Jose melepas pelukan Bunda Alea. Ia harus kuat. Ia pasti bisa. Ini baru kemoterapi pertama. Jangan panggil dia Jose Gabriel Calvin jika tak kuat menghadapinya.

Jose membuktikan kemoterapi tak selamanya menakutkan. Kemoterapi tak harus melemahkan. Semuanya akan baik-baik saja.

**   

Bersamamu kulewati

Lebih dari seribu malam

Bersamamu yang kumau

Namun kenyataannya tak sejalan

Tuhan bila masih ku diberi kesempatan

Izinkan aku untuk mencintainya

Namun bila waktuku telah habis dengannya

Biar cinta hidup sekali ini saja...

Bangkit dari rasa sakitnya, Jose tinggalkan ranjang putih itu. Ia bawa piano digital ke taman rumah sakit. Tak sabar menanti pengantar bunga misterius. Amat berharap gadis itu mau bicara dengannya, sekali saja.

Rasa ingin tahunya membuncah. Dadanya kebas dihujam rasa sedih. Sedih karena pengantar bunga misterius itu tak mau membuka diri. Memangnya Jose sebegitu jelek di matanya?

"Aku dengar suara piano. Dan suaramu...kaukah itu?"

Cepat sekali Tuhan mengabulkan doanya. Pengantar bunga misterius itu, berdiri anggun tepat di depannya!

"Iya. Itu aku...kamu masih ingat suaraku?" gumam Jose tak percaya.

Si gadis mengangguk. Diletakkannya keranjang bunga ke rumput. Jose menarik tangannya ke bangku taman.

"Siapa namamu?" tanya Jose.

"Sivia."

Sedetik. Tiga detik. Lima detik, kenapa persis nama ibu kandungnya? Mengapa nama mereka sama? Bahkan, warna mata mereka pun serupa. Tak ada pertemuan yang terjadi karena kebetulan. Semua telah disetting olehNya.

Tangan si gadis terulur. Jose menerimanya. Sebuah tanya meluncur dari bibir Sivia.

"Kalau kamu...siapa?"

"Aku...Diaz." jawab Jose spontan.

Entah mengapa, Jose tak ingin Sivia tahu namanya. Kalaupun ia meninggal nanti, biarlah Sivia mengingatnya sebagai Diaz. Bukan sebagai Jose, Jose yang menyandang nama Calvin di belakang namanya.

"Bunga-bunganya segar ya. Kenapa kamu suka kasih bunga? Kenapa nggak makanan aja?" Jose menuntaskan rasa penasarannya.

"Nggak semua makanan cocok buat pasien rumah sakit. Banyak pasien yang nggak boleh makan sembarangan. Bunga itu punya manfaat yang bagus banget. Biar mereka cepat sembuh." Sivia menjelaskan, tersenyum tipis.

"I see. Kamu pintar." puji Jose tulus.

Air muka Sivia berubah. Lebih mendung, lebih keruh. Gelisah dia memainkan tepi dressnya.

"Kalau aku pintar, aku nggak bakalan disakiti Ayahku terus." Ia bergumam sendiri. Tetapi Jose masih bisa mendengarnya.

"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Aku tulis puisi buat kamu. Mau aku bacain atau aku ketik di laptop kamu yang beda itu?"

Sivia kaget. Anak lelaki yang selalu menyapa di Hari Sabtu, mengajaknya bicara walaupun tak dijawab, dan membelikan minuman di vending machine, membuat puisi untuknya? Siapakah Sivia ini? Hanya gadis kecil kesepian yang tidak dipedulikan siapa pun.

"Tapi aku nggak bisa baca puisi. Aku ketik aja ya," Jose memutuskan sendiri.

Direbutnya laptop Sivia. Diketikkannya baris demi baris.

Ambillah makna dari setiap cerita

Dengan wajah tetap ceria

Tanpa harus bermuram durja

Tak perlu terbawa suasana

**   

Tak sanggup bila harus jujur

Hidup tanpa hembusan nafasnya

Tuhan bila waktu dapat kuputar kembali

Sekali lagi untuk mencintainya

Namun bila waktuku telah habis dengannya

Biarkan cinta ini

Biarkan cinta ini

Hidup untuk sekali ini saja (Glenn Fredly-Sekali Ini Saja).

Diam-diam Ayah Calvin menyusul ke rumah sakit. Kalau ada dua benda serupa yang dimiliki dirinya dan anak tunggalnya, itu adalah piano digital. Ayah Calvin melanjutkan lagu itu sampai akhir.

Kini, terungkaplah alasan Jose begitu semangat menjalani sesi terapi. Terjawab pula mengapa dia ingin punya adik. Ayah Calvin memaklumi, sangat memakluminya.

Ia tak marah ketika Jose menyembunyikan nama aslinya. Justru Ayah Calvin bangga. Jose low profile. Tak ingin menonjolkan prestise keluarga.

"Semua ada waktunya..." hibur Bunda Alea.

Ayah Calvin berbalik. Lembut mengangkat dagu istrinya. Otomatis mata mereka bertemu.

"Bagaimana bila jumlah pasir waktuku tidak cukup?" Ayah Calvin bertanya, pesimistis.

"Allah pemegang waktu. Allah menggenggam hati Jose. Kelak Ia akan menyelaraskan waktu dan pembalikan hati. Percayalah, Sayang. Kesedihan terurai pada waktunya."

Benar juga. Waktu milik Allah. Hati semua orang dalam genggamanNya. Buat apa risau?

"Di dekatmu aku tenang, Alea." ujar Ayah Calvin, memeluk Bunda Alea penuh cinta.

"Sensasi ketenangan darimu, lebih mudah diterima tubuhku." Bunda Alea mendesah, membalas pelukan pendamping hidupnya.

Jangan biarkan damai ini pergi. Jangan biarkan bunga-bunga cinta layu.

**   

Puisi diambil dari A Tribute To Maurinta karya Kompasianer Jose Dizzman Diaz.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun