Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Calvin, Jose, Alea] Malam Kembang Setitik Duka

4 Juli 2019   06:00 Diperbarui: 4 Juli 2019   06:07 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam Kembang, Setitik Duka

Kaki dan tangan kanan Jose mati rasa. Ia hanya bisa menggunakan bagian tubuh sebelah kirinya. Ada apa ini? Mengapa tubuhnya mulai melawan? Apakah pengeluaran darah dari pembuluh vena tiap minggu tak berguna lagi?

Gegara tubuh sebelah kanannya nyaris lumpuh, Jose izin tidak masuk sekolah. Ia hanya bisa beristirahat di rumah. Penyakit ini menyebalkan. Menghalanginya bersekolah, membuatnya terpaksa harus ikut ulangan susulan nanti.


"Ayah, Jose mau sembuh! Jose nggak mau sakit terus!" teriaknya putus asa. Suaranya mengurai keheningan pagi berhujan itu.

Ayah Calvin berbisik menenangkan. Mengusap-usap kepala Jose. Memberinya sup sesendok demi sesendok.

Dalam kesakitan, Jose tak melihat lingkaran hitam di mata Ayahnya. Ia tak menyadari betapa lelah sang ayah. Kemarin saat Jose tertidur di bawah pengaruh obat, Ayah Calvin meninggalkannya sebentar. Ayah Calvin menemui anggota keluarga besarnya yang kritis di rumah sakit.

Ujian tengah menimpa keluarga Ayah Calvin. Deraan sakit bertubi-tubi, kelainan darah, dan ketidakpastian. Kelainan darah itu tak bisa sembuh, hanya bisa dikontrol.

Dari sekian banyak cobaan, Ayah Calvin sempat tak rela ketika anaknya harus merasakan sakit. Memang bukan sindrom kekentalan darah seperti dirinya, tapi tetap saja darah Jose bermasalah. Sungguh, Ayah Calvin tak bisa melihat anaknya sakit parah.

"Udah. Jose nggak mau makan lagi." tolak Jose di suapan terakhir.

"Jangan membuang makanan, Sayang. Sekali lagi ya..." bujuk Ayah Calvin lembut.

Demi melihat sorot mata teduh Ayahnya, Jose menurut. Susah payah ditelannya suapan terakhir.

"Good boy," puji Ayah Calvin, mencium hangat kening putra tunggalnya.

Tidak, Jose yang sekarang sudah berubah. Jose tak bisa sering-sering main basket lagi. Dia pun kesulitan saat melindungi teman-temannya saat mereka dibully. Tangan kanan Jose terlalu lemah untuk mengambilkan botol obat milik Ayah Calvin.

"Jose bukan anak baik," tukas Jose datar.

"Kata siapa?"

"Kata Jose. Ayah susah gara-gara Jose, kan?"

Miris hati Ayah Calvin mendengarnya. Pelan dan hati-hati, dibaringkannya Jose di pangkuan.

"Jose itu malaikatnya Ayah." ujar Ayah Calvin dengan ketulusan luar biasa.

Jose menggeleng lemah. "Nggak. Ayah malaikatnya Jose."

Kedua laki-laki beda generasi namun bermata serupa itu beradu tatap. Sedikit kehangatan menyelusup ke benak Jose saat ditatap Ayahnya. Ayah Calvin menatapnya, lembut penuh kasih sayang.

"Jose anugerah terindah yang Ayah miliki." lanjut Ayah Calvin, suaranya makin melembut.

"Kayak lagu aja..." Jose mau tak mau tertawa kecil.

Ayah Calvin tersenyum. Ia lega mendapati anaknya lebih tenang. Begitu hati-hatinya Ayah Calvin menjaga kondisi psikis Jose sejak dia sakit.

Smartphone berlogo apel tergigit itu bergetar. Cepat-cepat Ayah Calvin mengambilnya, menggeser trackpad. Jose perhatikan ekspresi wajah Ayahnya sewaktu menerima telepon.

"Shilla...meninggal?" Ayah Calvin terperangah.

Itulah yang didengar Jose. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Ya, Tuhan, benarkah?

Klik. Telepon diakhiri. Ayah Calvin menggendong Jose ke ranjang, menidurkan, lalu menyelimutinya.

"Kenapa, Ayah?" tanya Jose serak. Ia takut, takut mendengar apa yang akan dikatakan Ayahnya.

"Bad news, Son. Ayah harus pergi. Ayah nggak bisa jaga kamu hari ini..."

Sisa kata-kata Ayahnya tenggelam. Tak dapat ia tangkap lagi. Tubuh Jose membeku dijalari rasa dingin. Dingin yang tak ada hubungannya dengan air conditioner di kamar bernuansa pastel itu.

Setelah mengecup kening Jose, Ayah Calvin bergegas pergi. Meninggalkan Jose membeku dihantam dinginnya kesedihan.

**   

Dingin. Jose kedinginan. Tangan kirinya tremor. Sisi kanan tubuhnya masih saja mati rasa.

Jam-jam berlalu lambat. Jose terbaring lama, menatap hampa langit-langit kamarnya. Dadanya sesak. Polisitemia vera membuatnya sesak nafas jika berbaring.

Pagi melambaikan tangan sebagai salam perpisahan. Siang menggantikannya. Hujan betah membasuh kota. Suram, sesuram hati Jose.

"Allahuma firlaha...warhamha, waafihi wafuanha." Jose merapal doa itu berulang-ulang.

Walaupun tak punya kenangan dengan mendiang Shilla, Jose tetap mendoakannya. Jose berjarak dengan keluarga besar Ayah Calvin. Merekalah yang menjauhi Jose. Anak yang mewarisi ketampanan Ayahnya itu selalu disebut "darah campuran".

Sakit hati Jose tiap kali dua kata itu dilayangkan. Memangnya "darah-campuran" seburuk itu? Bila pun bisa memilih, Jose ingin dilahirkan dari keluarga Tionghoa tulen agar tak dikucilkan.

Tapi...

Siapa yang bisa memilih dimana seseorang akan dilahirkan?

Perasaan terasing mencengkeram hati Jose. Ia anak Ayahnya, ia dan Ayah Calvin sulit terpisahkan. Kini, mengapa Ayah Calvin serasa membentangkan jarak dengannya?

Ayah Calvin meninggalkan Jose sendirian. Menenggelamkan diri dengan urusan rumah duka dan kremasi. Dibiarkannya Jose sendirian dalam sakit.

Bukan seperti itu, bisik hati kecilnya. Ayah Calvin tak ingin Jose bersedih. Jika sedih itu datang, Jose akan bertambah sakit. Jose takut kremasi, Ayah Calvin tahu itu. Mana mungkin dia membawa anaknya ke krematorium?

Dada Jose kian sesak. Kepalanya pusing. Polisitemia vera jahat! Bisa-bisanya ia kambuh di saat begini.

Jose meraih iPhonenya. Benda silver itu baru saja berbunyi. Muncul sebuah pop up bertuliskan "Bunda Alea".

"Halo Jose...this is me, Bunda Alea." sapa suara mezosopran di ujung sana.

"Bunda Alea..." erang Jose putus asa.

"Iya, Sayang. Sini cerita sama Bunda."

Beban kesedihan tertumpah. Pedih tercurah. Sedih terurai menjadi pasrah.

Semua yang hidup akan merasakan maut. Tarikan nafas takkan abadi. Kehidupan layaknya ruang tunggu di bandara. Kita hanya menunggu, kapan penerbangan kita dengan rute alam akhirat.

"Kita sama-sama saling doa ya, Sayang. Bunda juga lagi di rumah sakit...Mamanya Bunda, sakit miloma." kata Bunda Alea menguatkan.

"Apa itu Miloma, Bunda?" Jose bertanya penasaran.

"Kanker plasma darah. Mamanya Bunda sudah dua kali jatuh. Sebelum hari ulang tahunnya, dan saat malam Lebaran. Tulangnya patah. Tensinya tinggi sekali. Ternyata ditemukan kanker pada plasma darahnya." tutur Bunda Alea dengan suara halusnya.

Darah, kata itu lagi. Lama-lama Jose muak dengan darah. Dirinya terkena penyakit kelainan darah. Begitu pula Ayah Calvin. Kini Mamanya Bunda Alea merasakan hal serupa. Mengapa darah selalu membawa masalah?

"Jose...Sayang, sudah makan belum?" Bunda Alea mengalihkan pembicaraan.

"Belum."

"Makan ya, Sayangku. Terus minum obat. Biar Jose cepat sembuh."

Jangan beri angin surga. Jose tahu, dirinya takkan sembuh. Penyakit yang dideritanya bersifat menahun dan progresif, sama seperti kelainan darah yang diidap Ayah Calvin.

**   

Wajah tampannya dihiasi gurat kesakitan. Matanya kian menyipit menahan sakit. Jose mengayunkan kaki, susah payah turun dari ranjang.

Senja merengkuh malam. Pastilah sekarang tengah dilakukan prosesi malam kembang. Malam sebelum jenazah diberangkatkan ke krematorium.

Jose ingin datang ke malam kembang. Tapi, bagaimana bisa dengan kondisi begini? Ayahnya juga tak pulang.

Hebatnya, Ayah Calvin masih memberi kabar pada Jose tiap jam. Meski sibuk dengan urusan ini-itu. Hati Jose tertampar. Rasanya ia tak berguna. Mendampingi Ayahnya saja tak mampu.

Anak laki-laki yang lahir di bulan terdingin itu mencemaskan Ayahnya. Jose takut, takut sekali kehilangan Ayah Calvin. Bagaimana bila Ayah Calvin meninggalkannya? Bagaimana bila Ayah Calvin berhenti mempedulikannya? Bayang ketakutan berkelebatan.

Piano berdenting lembut. Tangan kiri Jose bergerak lambat. Tak mudah bermain piano dengan tangan.

Di keheningan malam ini

Kau masih bersamaku

Pintamu tuk melepaskanmu

Apa yang t'lah terjadi

Setelah semuanya kita miliki

Kumohon

Jangan katakan

Kini kau harus pergi

Jangan katakan

Kau takkan kembali

Tak mudah tuk jalani

Hidupku ini, tanpa hadirmu disini

Tanpa hadirmu di sini (Numata-Jangan Katakan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun