Takkan Berubah
Sebagian besar anak di kelas itu membenci Hari Senin. Senin sama artinya kembali bergelut dengan tumpukan buku dan materi pelajaran setelah libur dua hari. Bila hari itu tiba, otak mereka diperas bagai spons.
Eits, jangan samakan Jose dengan teman-temannya. Baginya, Senin sama seperti hari-hari lainnya. Tetaplah hari penuh warna. Jose bersyukur masih ada lembaran hari demi hari yang bisa dinikmatinya.
Walau materi pelajaran sulit, walaupun banyak tugas, Jose tak mengeluh. Ia tak keberatan saat Ms. Erika, wali kelas mereka yang galak, mengomeli murid-muridnya yang tak berhasil menjawab soal. Masih bisa bernafas dan belajar saja sudah merupakan anugerah terindah untuk Jose.
"Rasain kamu! Makanya jangan suka kasar sama orang! Kena sendiri kan?" Sharon tertawa puas setelah Adi diomeli Ms. Erika.
Anak pejabat yang pernah gagal terpilih sebagai ketua kelas itu berbalik. Wajahnya merah padam. Dalam satu gerakan, Adi menarik paksa kalung manik-manik yang dipakai Sharon. Seisi kelas menahan napas. Mereka menyesal karena Ms. Erika buru-buru pergi. Andai semenit saja dia lebih lama di sini, Adi takkan berani membully Sharon.
"Kembalikan." perintah Jose tegas.
Adi terbelalak. Ia tak menyangka Jose secepat itu bergerak ke sampingnya. Jose lebih tinggi dari Adi. Wajar saja Adi sedikit gentar.
"Kenapa aku harus mengembalikannya? Kalung murahan begini...aku bisa beli seratus kalung macam ini!" cemooh Adi meremehkan.
Air mata kemarahan mengaliri wajah Sharon. Lancangnya bibir orang kaya. Mungkin bagi mereka, kalung itu tak berharga. Tetapi bagi Sharon yang menghargai tiap tetes keringat orang tuanya, kalung itu bernilai tinggi.