Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Calvin, Jose, Alea] Takkan Berubah

3 Juli 2019   06:00 Diperbarui: 3 Juli 2019   06:18 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Takkan Berubah

Sebagian besar anak di kelas itu membenci Hari Senin. Senin sama artinya kembali bergelut dengan tumpukan buku dan materi pelajaran setelah libur dua hari. Bila hari itu tiba, otak mereka diperas bagai spons.

Eits, jangan samakan Jose dengan teman-temannya. Baginya, Senin sama seperti hari-hari lainnya. Tetaplah hari penuh warna. Jose bersyukur masih ada lembaran hari demi hari yang bisa dinikmatinya.


Walau materi pelajaran sulit, walaupun banyak tugas, Jose tak mengeluh. Ia tak keberatan saat Ms. Erika, wali kelas mereka yang galak, mengomeli murid-muridnya yang tak berhasil menjawab soal. Masih bisa bernafas dan belajar saja sudah merupakan anugerah terindah untuk Jose.

"Rasain kamu! Makanya jangan suka kasar sama orang! Kena sendiri kan?" Sharon tertawa puas setelah Adi diomeli Ms. Erika.

Anak pejabat yang pernah gagal terpilih sebagai ketua kelas itu berbalik. Wajahnya merah padam. Dalam satu gerakan, Adi menarik paksa kalung manik-manik yang dipakai Sharon. Seisi kelas menahan napas. Mereka menyesal karena Ms. Erika buru-buru pergi. Andai semenit saja dia lebih lama di sini, Adi takkan berani membully Sharon.

"Kembalikan." perintah Jose tegas.

Adi terbelalak. Ia tak menyangka Jose secepat itu bergerak ke sampingnya. Jose lebih tinggi dari Adi. Wajar saja Adi sedikit gentar.

"Kenapa aku harus mengembalikannya? Kalung murahan begini...aku bisa beli seratus kalung macam ini!" cemooh Adi meremehkan.

Air mata kemarahan mengaliri wajah Sharon. Lancangnya bibir orang kaya. Mungkin bagi mereka, kalung itu tak berharga. Tetapi bagi Sharon yang menghargai tiap tetes keringat orang tuanya, kalung itu bernilai tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun