Undangan Dari Malaikat
Jose punya kebiasaan aneh. Ia suka menggigit-gigit jarinya. Ada perasaan nyaman saat jarinya digigit. Kebiasaan itu sering ia lakukan sejak ketiga sobatnya meninggal.
Ah, betapa besar perubahan dalam diri Jose. Bocah ganteng yang paling tinggi di antara teman-teman seangkatannya itu jadi lebih pendiam. Suka menyendiri. Jarang tersenyum. Sering menghabiskan waktu di masjid, vihara, dan kapel sekolah.
Sekolah Jose punya tiga tempat ibadah. Tak semua muridnya beragama Islam. Semua itu atas kebijakan Ayah Calvin.
Ayah Calvin, satu-satunya yang kini Jose miliki. Sebagian besar waktu dihabiskan bersama sang ayah. Terlebih usai pembagian rapor. Jose hanya ingin berada dekat-dekat Ayahnya.
Ada kejutan manis buat Jose. Dua buah plakat emas menghiasi ruang piala. Ayah Calvin memberi penghargaan istimewa pada dua ketua kelas teladan.
Ahmad Andrio Aryan
Jose Gabriel Calvin
Ketua Kelas Teladan
Hati Jose pedih bercampur gembira. Masa jabatannya sebagai ketua kelas telah berakhir. Penghargaan itu mengakhirinya.
Ia sedih karena Andrio tak ada di sini. Jika tembakan beruntun itu tak menewaskan jamaah masjid, Andrio pasti masih bisa melihat penghargaannya. Semua gara-gara teroris itu!
Jose kembali menggigiti jarinya. Matanya sembap. Air bening turun perlahan. Ruang piala yang sejuk berubah dingin menyesakkan.
Biarlah, biarlah ia sendirian. Cukup Allah yang lihat dari atas sana. Jose bersedih, terus bersedih. Dia terkenang Andrio, sobatnya yang luar biasa.
Seharusnya Andrio saja yang mendapat penghargaan ini. Kebijakan Ayah Calvin disambut positif oleh para pengurus yayasan. Pak direktur memang perhatian pada anak-anak spesial, begitu kata mereka. Ayah Calvin tak pernah menyebut 'cacat' pada anak-anak dengan keterbatasan fisik dan mental. Ia lebih suka menyebut mereka 'spesial'.
Mendadak Jose merasakan tangannya ditarik dengan lembut. Wangi yang sangat khas menggelitik penciumannya. Pelan-pelan ia menengadah. Benar dugaannya.
"Jangan menangis...jangan gigit jarimu, Sayang." larang Ayah Calvin.
"Kenapa Jose nggak boleh gigit-gigit jari?" protesnya.
"Karena itu bagian dari menyakiti diri." jelas Ayah Calvin sabar.
Lalu Ayah Calvin mendudukkan Jose di pangkuannya. Diputarkannya sebuah video dari iPhonenya. Jose tergetar. Itu video perform Andrio sebelum kemoterapi kedua.
Aku pernah bermimpi
Menjadi bintang yang paling bersinar
Ku tak menyangka kini terjadi
Kegagalan yang pernah kualami
Menjadikanku semakin kuat
Aku bersyukur jadi seperti ini
Kebahagiaan ini janganlah cepat berlalu
Karena tak mudah untuk menggapainya
Ku berjanji akan menjaga semua
Terima kasih Tuhan
Atas segala anugerah yang Kauberi
Semoga kan tetap abadi
Aku pernah berharap
Menjadi sesuatu yang berharga
Untuk semua orang yang menyayangiku (Debo-Bintang yang Bersinar).
Andrio akan selalu jadi bintang yang paling bersinar di hati orang-orang yang mengingatnya. Ia ketua kelas pertama yang memiliki keterbatasan fisik. Semula dewan guru tak percaya saat Andrio mendapat suara terbanyak. Ayah Calvin memberikan kepercayaan penuh padanya. Anak spesial bisa jadi pemimpin, begitu kata Ayah Calvin.
Setelah Andrio meninggal, Jose naik menggantikan posisinya. Dia sama sekali tidak bangga dengan itu. Ayah Calvin pun mempercayainya, meski Jose sudah tertimpa banyak luka.
Mata Jose sakit. Pasti kebanyakan bersedih. Dengan lembut, Ayah Calvin memeluknya. Ayah Calvin mencium mata Jose.
"Ayah cium matanya...biar sakitnya pindah ke Ayah." bisiknya.
** Â
Butir-butir obat menggelinding ke karpet. Pria berjas hitam itu mengerang putus asa. Jarum tak kasat mata menusuk tajam kepalanya.
Jose melompat turun dari ranjang. Bergegas mengambilkan obat-obatan Ayahnya. Mengawasi dengan tegang ketika Ayah Calvin memegangnya lagi.
Pelan-pelan Ayah Calvin meminum obatnya. Dalam hati Jose berdoa. Amat berharap semua obat itu bisa menyembuhkan. Berharap Ayah Calvin tidak perlu ketergantungan obat sepanjang hidup. Memakai obat jangka panjang kurang baik untuk kesehatan ginjal.
Obat terakhir telah diminumnya. Ayah Calvin menghela nafas berat, mengusap keringat dingin yang membanyak di keningnya. Jose takut, takut sekali Ayahnya kesakitan lagi.
"Ayah, obat-obatan itu gimana rasanya?" tanya Jose cemas.
"Tidak ada rasanya, Sayang." jawab Ayah Calvin.
"Tapi...bukankah kalau pulang terapi, Ayah sering muntah-muntah? Mungkin obat itu juga..."
Sesaat Ayah Calvin terdiam. Susah punya anak kritis. Lembut digendongnya tubuh Jose kembali ke tempat tidur.
"Sudah. Jangan khawatir. Temani Ayah menulis ya."
Jose menurut. Sepertiga malam sedikit lebih menyenangkan. Diperhatikannya Ayah Calvin menulis artikel. Sekilas Jose menangkap kata-kata aneh seperti 'negosiasi' dan 'perang dagang'. Mungkinkah Ayah Calvin menulis tentang itu? Negosiasi dan perang dagang artinya apa ya?
"Ayah..." panggil Jose, menarik-narik lengan jas Ayahnya. Dia lupa kalau Ayah Calvin lupa dunia kalau sedang menulis.
"Hmmmm?"
"Donald Trump itu siapa?"
"Presiden Amerika."
Tuh kan, jawabannya pendek-pendek. Tidak pakai panggilan sayang lagi. Jose manyun.
"Salam...hanya sekedar berbagi! Calvin Wan berbagi!" Jose membaca keras-keras bagian akhir tulisan. Sengaja betul mencari perhatian.
Ayah Calvin tertawa. Diusap-usapnya rambut Jose. Selesai memposting tulisan, ia bawa Jose keluar kamar.
Mereka menuju ruang makan. Para pelayan telah menyiapkan menu lengkap. Jose didudukkan di kursi empuk. Kemudian Ayah Calvin menyuapinya. Sejak Jose sering menyakiti diri, Ayah Calvin melarangnya memegang garpu dan pisau.
"Nggak mau ah! Jose nggak suka sayur!" tolaknya di suapan kedua.
Ayah Calvin tetap sabar. Sejenak pria berkacamata itu mengutak-atik iPhonenya. Ia mulai menceritakan masa lalunya.
"Jose Sayang...kamu pasti kaget. Dulunya, Ayah Calvin bukan Muslim."
Mata Jose melebar tak percaya. Ditatapnya sang ayah lekat-lekat. Saat itula Ayah Calvin memanfaatkan kesempatan untuk menyuapinya.
"Kok bisa?" Jose menelan makanannya cepat-cepat, ia sudah sangat penasaran.
"Dulunya, Ayah itu Buddhis. Kayak Hito. Ayah kagum banget sama Dalai Lama."
Sambil berkata begitu, Ayah Calvin menunjukkan official akun Twitter Dalai Lama. Jose megangguk paham.
"Ayah mulai kenal Islam setelah follow ini..."
Akun Dalai Lama menutup. Berganti tampilan akun lain. Jose menyipitkan mata, membaca tulisannya.
"NU...Garis...Lucu."
"Iya."
Berhasil, Jose tak menolak lagi. Ditelannya suapan demi suapan dengan lancar. Tak ada ruginya Ayah Calvin membuka diri.
"Terus, kenapa Ayah akhirnya jadi seperti sekarang?"
"Karena ada Jose. Setelah Jose lahir, Ayah jadi seperti ini."
Wow, bagaimana bisa? Tapi Ayah Calvin enggan menceritakannya. Saat Jose sudah dewasa, dia akan tahu.
** Â Â
"Gabriel, kamu udah selesai belum baca Qurannya?"
Silvi berdiri di depan kamar Jose. Mana ia tahu sudah selesai apa belum? Jose tak pernah membaca Alquran keras-keras. Ia lebih suka membacanya perlahan dengan lembut. Ayah Calvin mengajarinya untuk berdoa dan beribadah dalam keheningan. Tuhan tak perlu diteriaki, begitu selalu katanya.
Pintu kamar terbuka. Senyuman Silvi melebar. Ditariknya tangan Jose ke lantai bawah.
"Tunggu. Pamit dulu sama Ayah." cegah Jose ketika mereka hampir sampai di pintu depan.
"Ayah di sini..."
Panjang umur, gumam Jose dalam hati. Ayah Calvin membungkuk, mencium dahi anaknya. Silvi berpaling. Mata birunya berkilat. Kenapa seperti Papa Revan, ya? Pikirnya.
Tangan Jose terjulur. Pelan meraba wajah Ayahnya. Terasa agak hangat. Apakah Ayahnya demam?
"Nanti bukanya di sini ya...Ayah sayang Jose." ujar Ayah Calvin lembut.
Sampai ia berada di rumah Silvi, kata-kata Ayahnya terus terngiang. Bahkan ia tak begitu tertarik saat Silvi menunjukkan koleksi buku ceritanya yang baru. Karena sama-sama suka membaca cerita, Jose dan Silvi sering bertukar buku. Apa lagi sekarang liburan. Mereka punya banyak waktu luang untuk membaca cerita.
"Gabriel, nanti kamu ikutan bukber kelas ya. Acaranya di sini." ucap Silvi.
Jangan heran kalau anak-anak sekecil mereka sudah punya rencana seperti itu di bulan mulia. Jose menggeleng tegas. Silvi kecewa.
"Yah...kamu nggak bisa. Kalo bukber finalis kompetisi musik bisa nggak? Acaranya besok..."
"Nggak bisa juga. Aku udah ada undangan lain."
Alis Silvi terangkat. Rasa penasarannya terusik. "Undangan siapa sih?"
"Undangan dari malaikat." Jose menjawab mantap.
"Tapi kan Ayah kamu nggak ikutan..."
"Ayah selalu bikin aku nyaman. Ayah nggak pernah makan-minum di depanku. Ayah pengertian banget."
"Ah...Gabriel, kamu nempel banget sih sama Ayahmu. Pencemas lagi. Ayah Calvin batuk sedikit aja, kamu nangis."
Tanggapan Silvi tak didengarkannya. Gadis kecil itu tak tahu betapa besar ketakutan Jose. Jose takut kehilangan lagi. Ayah Calvin terlalu penting, terlalu berharga.
** Â Â
Jose berlari ke dapur besar. Dapur itu terletak di lantai bawah. Kalau di lantai paling atas, ada yang lebih kecil. Namanya pantry.
"I'm home! Assalamualaikum!" serunya riang.
"Waalaikumsalam. Hei anak Ayah...tadi baca buku apa?" balas Ayah Calvin, berbalik dari depan kompor.
Jose terperangah. Jadi, Ayahnya sendiri yang masak? Ia cemas sekali.
"Ayah istirahat aja...kenapa malah masak? Ayah kan lagi sakit."
Wajah Ayah Calvin pucat. Tetapi ia terlihat menikmati aktivitasnya.
"Ayah nggak sakit, Sayang. Masih bisalah kalo Cuma masakin makanan kesukaan kamu." katanya menenangkan.
Perlahan Jose mengintip hasil masakan Ayahnya. Nasi hainam! Jose suka sekali masakan itu.
Satu jam berselang, mereka makan di dekat kolam renang. Langit merah-keunguan ikut tersenyum. Jose sangat menikmati kebersamaan dengan Ayahnya. Ia rela tak disukai teman-temannya asalkan berada di dekat Ayah Calvin. Lebih baik dia menolak undangan bukber di luar asal tak kehilangan waktu dengan Ayahnya.
Jose bersyukur. Tuhan memberi kesempatan. Masih ada hari indah yang bisa ia nikmati bersama Ayah Calvin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H