"My Dear Calvin, makanannya enak sekali. Kamu tahu tempat-tempat makan recomended ya," puji Tuan Effendi puas.
"Iya, Pa. Apa pun akan kulakukan untuk menyenangkan Papa." Calvin tersenyum menawan.
Mereka duduk berhadapan, dibatasi meja kayu jati. Meja makan ini menjadi saksi diplomasi malaikat tampan bermata sipit.
"Pa, boleh aku minta sesuatu?"
"Katakan saja."
"Maukah Papa tinggal di Indonesia selamanya? Maukah Papa menemaniku, Abi Assegaf, dan anak-anak nelayan?"
Sudah diduganya. Tuan Effendi tidak kaget mendengar permintaan sang buah hati. Lembut, lembut tatapan mata Calvin. Bicaranya pun pelan, penuh hormat. Tak ada pemaksaan, tak ada kemanjaan, tak ada judgement. Kerak-kerak es mulai luluh di dinding hatinya.
Diperlakukan dengan lembut, makin sulit untuk menolak. Kelembutan dapat membuat perubahan. Walaupun prosesnya lebih panjang. Selama ini, Calvin begitu lembut. Bahkan saat dia menolak permintaan Tuan Effendi untuk pindah ke Australia.
Makin banyak kerak es berjatuhan. Tuan Effendi serasa mendengar bunyi keretak kerak-kerak es dari dasar hatinya sendiri. Ya, Tuhan, inikah petunjuk dariMu? Petunjuk agar dirinya kembali ke Indonesia. Lupakan Australia, suara kecil alter ego berbisik. Pelan, menggetarkan.
"Anything for you, My Dear." jawab Tuan Effendi.
Mata Calvin berbinar bahagia. Binar mata seorang anak yang tak ingin jauh dari ayahnya. Dipeluknya Tuan Effendi erat-erat.