Nada suara Adica sedingin lapisan es Greenland. Calvin menggigit bibir. Tak setitik pun niat untuk membalas kemarahan Adica. Cukup disimpannya dalam hati.
"Sikap Abi berubah sejak kamu ada di sini! Sana, kembali pada ayah kandungmu!"
"Saya tidak akan meninggalkan Abi Assegaf."
Siapa bilang Calvin Wan hanya bisa lembut? Tidak, ia pun bisa tegas dan marah kalau mau. Sisi ketegasannya naik perlahan. Keduanya saling lempar argumen ditingkahi debur ombak di luar.
"Abi Assegaf tidak butuh kamu! Jangan sok peduli padanya!" bentak Adica marah.
"Lalu, siapa yang dia butuhkan? Anak muda ambisius dan workaholic seperti Anda, Tuan Muda?"
"Aku bisa berhenti dari dunia entertain kapan saja dan merawat ayahku!"
"Mana buktinya? Anda hanya bicara."
"Kau munafik, Calvin! Ayah orang diurusi, ayah kandung terabaikan!"
"Saya tidak pernah mengabaikan Papa Effendi. Saya berusaha adil."
Hantaman ombak kian keras memecah pasir. Dalam kemarahan, dua pemuda itu seakan menjulang lebih tinggi. Lihatlah, orang berhati lembut tak kalah menakutkan ketika marah.