-Semesta Calvin-
Dentaman bola basket menghajar rumput. Teriakan suporter menggema di lapangan. Peluit ditiup, pertandingan babak kedua dimulai.
Sepuluh orang menyebar di lapangan. Berebut bola, memperlihatkan kebolehan mereka, menunjukkan teknik terbaik. Ambisi kemenangan menyala di mata dan hati. Berpasang-pasang kaki saling-silang di rumput hijau, bertekad merebut gelar MVP tahun ini. Atau top scorer paling tidak.
Mudahkah menyabet gelar bergengsi itu? Tentu saja tidak. Persaingan di dunia basket sangat ketat. Butuh strategi untuk menyingkirkan lawan.
"Calvin...Calvin...Calvin!" sorak para suporter yang semuanya kaum Hawa.
Bukan tanpa alasan mereka mendukung Calvin. Dia primadona di tim basket universitasnya. Tahun lalu, ia meraih gelar MVP. IPKnya paling tinggi di antara teman-teman seangkatan. Banyak orang menyebutnya malaikat tampan bermata sipit karena ketampanan dan kebaikannya.
Meski jadi idola, tak banyak yang tahu kehidupan pribadinya. Lihatlah, di lapangan ia begitu bersemangat mencetak angka. Orang luar mengira itu hanya sekedar meraih prestasi. Baginya tidak.
"Aku harus menang...aku harus menang." bisik Calvin berulang-ulang.
"Demi aku, demi menebus sakit punggungku ini."
Satu, dua, tiga kali berturut-turut Calvin memberikan shoot cantik ke ring. Tembakan terakhirnya menyentuh area three point. Lapangan basket in door seolah akan runtuh oleh teriakan kemenangan suporter. Sekejap saja Calvin banjir pelukan dari teman-teman setimnya.
"Santutthi ca kataut, etam mangalamuttamam." Calvin bergumam pelan, teringat kata-kata Sang Buddha untuk selalu merasa puas dan berterima kasih.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Calvin membuka bajunya. Ya, ia selebrasi dengan membuka kaus merah bernomor punggung 5. Melihat tubuh Calvin topless, gadis-gadis berteriak histeris. Mereka memuji tubuh indah di depan mata. Pujian bernada seksis, mengingat betapa tampannya Calvin.
"Calvin...you're great!"
Revan berteriak. Ia melompati pagar pembatas, lalu berlari memeluk Calvin erat. Dua sahabat beda etnis itu berpelukan, menari berputar-putar mirip pirouttes: saling menumpukan kaki dan berputar. Keduanya bernyanyi, mengekspresikan kebahagiaan.
Kita berlari dan teruskan bernyanyi
Kita buka lebar pelukan mentari
Bila kuterjatuh nanti
Kau siap mengangkat aku lebih tinggi
Seperti pedih yang telah kita bagi
Layaknya luka yang telah terobati
Bila kita jatuh nanti
Kita siap 'tuk melompat lebih tinggi
Bersama kita bagai hutan dan hujan
Aku ada kar'na engkau telah tercipta
Kupetik bintang
Untuk kausimpan
Cahayanya tenang
Berikan kau perlindungan
Sebagai pengingat teman
Juga sebagai jawaban
Semua tantangan (Sheila on 7-Melompat Lebih Tinggi).
Puas mengekspresikan kegembiraan, Calvin dan Revan melepaskan diri. Tak peduli pada tatapan-tatapan heran yang mengikuti mereka. Tangan Revan melambai, merespon suporter dan anggota tim yang lekat menatapi.
"Yeeee, dikira aku sama Calvin homo?" tebaknya, pas sekali membaca pikiran mereka.
Calvin tertawa mendengarnya. Dia pria normal. Dari pada Revan, Calvin lebih suka mengencani putri kampus.
"Momennya pas banget tuh. Kamu menang, besoknya liburan akhir semester. Kita rayain yuk." ajak Revan excited.
"Nope." tolak Calvin tegas.
Alis Revan terangkat. Ia menggaruk-garuk rambut pirangnya yang tak gatal.
"Aku mau cari kerjaan."
"Nah lho, bukannya beasiswa kamu udah cukup ya? Kamu juga nggak perlu bayar sewa apartemen."
"Buat bayar kemo mana? Kemo pertama aja, tabunganku udah habis."
Wajah Revan membiru duka. Mata biru pucatnya meredup.
"Pakai uangku aja. Tenang...Mami-Papi nggak akan tahu."
Tawaran menggiurkan. Namun Calvin menolaknya halus. Dia berkeras mencari pekerjaan. Libur semester sudah tiba. Alhasil waktunya full untuk bekerja.
Sejurus kemudian, Revan merangkul Calvin ke tempat parkir. Dibukakannya pintu Rush biru gelap kesayangan. Ditatapnya wajah sahabat orientalnya lekat-lekat.
"Ada pekerjaan yang cocok buatmu...tapi mungkin agak berisiko." ujarnya pelan.
"Apa itu?"
** Â Â
-Semesta Tuan Effendi-
Pesawat airbus berkapasitas dua ratus penumpang itu mendarat mulus. Para penumpang bergegas keluar lewat lorong garbarata. Beberapa pria perlente rasa player sempat mengedip genit ke arah pramugari. Tersenyum, melambai untuk terakhir kali, bahkan ada yang sempat-sempatnya meminta nomor WA. Teknik pendekatan zaman now.
Pria tua bertubuh gemuk dan berkulit putih itu berjalan pelan. Tak seperti kebanyakan laki-laki sepantarannya, ia memilih pergi tanpa melirik pramugari. Hatinya melagukan mada syukur. Syukur karena telah tiba kembali di tanah airnya.
Ya, pria itu menganggap Indonesia sebagai tanah air. Satu-satunya tanah air yang ia cintai dan banggakan. Belasan tahun menjadi diaspora di negeri orang, cintanya pada Indonesia tak tergerus waktu.
Rindunya membuncah. Betapa rindu ia pada Indonesia. Negeri berpenduduk ramah, negeri berpenduduk mayoritas Muslim, dan negeri penuh pencuri uang rakyat. Jangan kira ia tutup mata. Selama tinggal di luar negeri, pria rasa jet set ini menyempatkan waktu membaca berita-berita dari negerinya.
Berita yang paling miris menurutnya adalah berita korupsi. Belum lagi teror-teror yang mendera para pemburu koruptor. Kasus penyiraman air keras belum terungkap, kini ditambah teror bom Molotov di rumah Ketua KPK. Miris, sangat miris.
Untuk memberantas korupsikah ia kembali ke Indonesia? Bukan, sama sekali bukan. Diaspora yang telah lama hidup sendiri itu jauh-jauh terbang dari Aussie semata untuk satu tujuan. Tujuan yang melankolik untuk pria berjabatan tinggi sepertinya.
"Pak, mau naik taksi? Saya antar, Pak. Ke hotel, ke resto, wah kemana aja saya antar."
Supir taksi berbaju biru menepuk pundaknya. Riuh-rendah kesibukan bandara ini, kesemrawutan ini, amat dirrindukannya.
"Boleh. Ke hotel ya."
Wajah si supir berbinar bahagia. Dengan penuh semangat, diangkatnya koper milik pria itu. Dimasukkannya ke bagasi. Selang lima menit, taksi biru itu meluncur keeluar bandara.
Ruas-ruas jalan dipadati kendaraan. Lagu lama saat tiba jam pulang kantor. Si pria jet set mendesah, memejamkan mata. Lama, lama sekali ia tak kembali ke metropolitan. Kota besar yang disesaki gedung pencakar langit, pohon plastik, dan rumput sintetis. Semuanya beraroma beton, plastik, dan kaca. Namun dia teramat rindu.
"Bapak dari mana?" tanya supir taksi membuka obrolan.
"Perth," jawab pria itu singkat.
"Oh...Australia Barat ya."
Cerdas juga supir taksi ini, pikir si pria. Mungkin saja ia sarjana. Nasibnya saja yang kurang beruntung.
"Bapak mau liburan?"
"Saya mencari anak saya. Kami terpisah delapan belas tahun yang lalu."
"Semoga bisa ketemu sama anaknya ya, Pak."
"Amin."
Hening begitu lama. Si pria memanfaatkan kesempatan ini untuk berdoa. Ia berdoa, memohon kasih Yesus dan Maria agar mempermudah jalannya mencari sang anak. Apa pun akan dilakukannya untuk bertemu anak itu. Satu-satunya permata hati yang ia miliki.
** Â Â
-Semesta Dokter Tian-
Lelah mengurusi pasien sepanjang hari, Dokter Tian mengunci diri di ruang praktiknya. Ia ambil air wudhu. Ditegakkannya shalat. Dalam hati meminta maaf berkali-kali karena shalat di akhir waktu.
Betapa tak enaknya shalat di penghujung waktu. Diri seperti dikejar-kejar, dihantui perasaan tak tenang. Bila sudah terbiasa shalat tepat waktu, tak enak rasanya mengakhirkan shalat.
Takbiratul ihram, rakaat demi rakaat, tasyahud akhir, hingga salam, semua dilakukannya setenang mungkin. Tanpa tergesa. Dokter Tian menikmati kedekatan transendental dengan Illahi.
Usai shalat, Dokter Tian berzikir. Terlarut dalam munajah. Mengisi waktu senggangnya untuk merajut cinta bersama Al-Latif. Allah sangat lembut. Ia pasti mengerti dan memaafkan keterlambatan dokter Onkologi itu.
"Ya, Allah, bukan maksudku melupakanMu. Tadi ada pasien kritis. Aku tak bisa meninggalkannya."
Sajadah panjang itu menjadi saksi. Saksi permohonan sang dokter enam kali sehari. Bukan, bukan lima kali. Ia rajin menegakkan Tahajud di sepertiga akhir malam.
Ingatan akan pasien kritis itu naik ke permukaan. Bagaimanakah kondisinya sekarang?
Pertanyaannya terjawab. Smartphonenya berdering. Menyudahi zikirnya, ia beranjak ke meja. Menjawab telepon itu tanpa melihat nama kontaknya.
"Tian! Kau membunuh lagi ya?!"
Lengkingan suara di seberang sana sangat dikenalinya. Darahnya serasa berhenti berdesir.
"Apa...apa maksudmu, Sayang?"
"Barusan aku ditelepon keluarga Ci Maria! Katanya Ci Maria meninggal! Kau kelewatan, Tian! Kaubunuh anak kita, sekarang kaubuat Ci Maria meninggal!" teriak perempuan itu setengah terisak.
Ponsel pintar di tangan Dokter Tian terjatuh. Wajahnya memias.
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H