"Semoga bisa ketemu sama anaknya ya, Pak."
"Amin."
Hening begitu lama. Si pria memanfaatkan kesempatan ini untuk berdoa. Ia berdoa, memohon kasih Yesus dan Maria agar mempermudah jalannya mencari sang anak. Apa pun akan dilakukannya untuk bertemu anak itu. Satu-satunya permata hati yang ia miliki.
** Â Â
-Semesta Dokter Tian-
Lelah mengurusi pasien sepanjang hari, Dokter Tian mengunci diri di ruang praktiknya. Ia ambil air wudhu. Ditegakkannya shalat. Dalam hati meminta maaf berkali-kali karena shalat di akhir waktu.
Betapa tak enaknya shalat di penghujung waktu. Diri seperti dikejar-kejar, dihantui perasaan tak tenang. Bila sudah terbiasa shalat tepat waktu, tak enak rasanya mengakhirkan shalat.
Takbiratul ihram, rakaat demi rakaat, tasyahud akhir, hingga salam, semua dilakukannya setenang mungkin. Tanpa tergesa. Dokter Tian menikmati kedekatan transendental dengan Illahi.
Usai shalat, Dokter Tian berzikir. Terlarut dalam munajah. Mengisi waktu senggangnya untuk merajut cinta bersama Al-Latif. Allah sangat lembut. Ia pasti mengerti dan memaafkan keterlambatan dokter Onkologi itu.
"Ya, Allah, bukan maksudku melupakanMu. Tadi ada pasien kritis. Aku tak bisa meninggalkannya."
Sajadah panjang itu menjadi saksi. Saksi permohonan sang dokter enam kali sehari. Bukan, bukan lima kali. Ia rajin menegakkan Tahajud di sepertiga akhir malam.