Sejurus kemudian, Revan merangkul Calvin ke tempat parkir. Dibukakannya pintu Rush biru gelap kesayangan. Ditatapnya wajah sahabat orientalnya lekat-lekat.
"Ada pekerjaan yang cocok buatmu...tapi mungkin agak berisiko." ujarnya pelan.
"Apa itu?"
** Â Â
-Semesta Tuan Effendi-
Pesawat airbus berkapasitas dua ratus penumpang itu mendarat mulus. Para penumpang bergegas keluar lewat lorong garbarata. Beberapa pria perlente rasa player sempat mengedip genit ke arah pramugari. Tersenyum, melambai untuk terakhir kali, bahkan ada yang sempat-sempatnya meminta nomor WA. Teknik pendekatan zaman now.
Pria tua bertubuh gemuk dan berkulit putih itu berjalan pelan. Tak seperti kebanyakan laki-laki sepantarannya, ia memilih pergi tanpa melirik pramugari. Hatinya melagukan mada syukur. Syukur karena telah tiba kembali di tanah airnya.
Ya, pria itu menganggap Indonesia sebagai tanah air. Satu-satunya tanah air yang ia cintai dan banggakan. Belasan tahun menjadi diaspora di negeri orang, cintanya pada Indonesia tak tergerus waktu.
Rindunya membuncah. Betapa rindu ia pada Indonesia. Negeri berpenduduk ramah, negeri berpenduduk mayoritas Muslim, dan negeri penuh pencuri uang rakyat. Jangan kira ia tutup mata. Selama tinggal di luar negeri, pria rasa jet set ini menyempatkan waktu membaca berita-berita dari negerinya.
Berita yang paling miris menurutnya adalah berita korupsi. Belum lagi teror-teror yang mendera para pemburu koruptor. Kasus penyiraman air keras belum terungkap, kini ditambah teror bom Molotov di rumah Ketua KPK. Miris, sangat miris.
Untuk memberantas korupsikah ia kembali ke Indonesia? Bukan, sama sekali bukan. Diaspora yang telah lama hidup sendiri itu jauh-jauh terbang dari Aussie semata untuk satu tujuan. Tujuan yang melankolik untuk pria berjabatan tinggi sepertinya.