Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Langit Seputih Mutiara] "White Violin"

30 Januari 2019   06:00 Diperbarui: 30 Januari 2019   06:17 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usai mengisi acara, keluarga Assegaf tak langsung kembali ke rumah. Ada yang menahan mereka. Lagi-lagi ulah wanita pemantik api cemburu.

"Papa cemburu..." desah Tuan Effendi, membenamkan wajah ke lututnya.

Hati Calvin tersentuh rasa iba. Tak pernah, tak pernah sebelumnya ia lihat sosok berwibawa dan berjiwa pemimpin itu teramat rapuh. Rapuh oleh kecemburuan. Tangan Calvin terulur. Lembut dibelainya lengan sang Papa.

"Pa..." panggil Calvin sehalus mungkin.

"Tidakkah Papa ingin belajar merelakan?"

Belajar merelakan, sulit sekali Kamila melakukannya. Perempuan itu tak sadar. Bahtera hati Abi Assegaf hanya pantas dinaiki Arlita. Tak ada wanita lain yang mampu menjatuhkan posisinya.

Adica dan Syifa resah. Kabar dari enam pelayan mengacaukan pikiran mereka. Bagaimana ini? Tak mungkin membawa Ummi mereka pulang dan berhadapan dengan Kamila. Abi Assegaf tak kalah resah. Ia bertekad takkan membuat istrinya sakit hati lagi.

Arlita membaca kegelisahan mereka. Namun, ia tak tahu mengapa. Ia putuskan tidak bertanya. Langkahnya anggun, senyumnya lembut menenteramkan selama berjalan di sisi orang-orang yang paling dicintainya.

Cinta? Benarkah Tuan Effendi mencintai Adica? Jika cinta, haruskah terus memaksakan Adica tinggal bersamanya dan menumpuk dendam untuk Abi Assegaf? Cinta sejati takkan menumbuhkan dendam. Lama Tuan Effendi tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Bukan begitu hakikat cinta yang sempurna. Cinta yang sesungguhnya tidak akan melahirkan dendam. Memusuhi Abi Assegaf dan memaksakan Adica kembali ke rumahnya bukanlah bukti cinta. Abi Assegaf tidak salah. Adica memilih tinggal bersamanya tanpa paksaan.

"Bagaimana, Pa? Mau belajar merelakan adikku?" Calvin bertanya memecah kebekuan.

"Mau saja...tapi ini sudah malam, Sayang." Arlita tersenyum pada Adica, menanggapi tawarannya pergi berdua.

Sudah lama Adica merencanakannya: quality time hanya berdua dengan Umminya. Tapi, sejak kemarin tak ada waktu. Mungkin inilah saatnya. Ia bisa berjalan-jalan dengan Arlita sambil mengalihkan perhatian.

"Tapi, bagaimana dengan Abi? Ummi tak bisa meninggalkannya." Arlita meragu, belum juga membuka pintu mobil. Ditingkahi tatapan menenangkan Abi Assegaf. Diyakinkannya sang istri kalau ia akan baik-baik saja bersama Syifa.

Bukannya tak percaya, bukannya waswas. Arlita hanya terlalu protektif. Syifa pun meyakinkan Umminya. Ia akan menjaga Abi Assegaf sebaik mungkin.


Pernah ku menyimpan cinta

Tertulis di lembar kisah

Namun kau hilang 'tuk menjauh

Pergi dan meninggalkan cerita

Mendua aku tak mampu

Mengikat cinta bersama denganmu

Maaf jika kau terluka

Saat aku memilih dirinya (Kahitna-Tak Mampu Mendua).

Biola Adica menyentuh rasa. Abi Assegaf memainkan biola putih itu di taman rumahnya. Kamila terpaku. Arlita terpesona.

"Kenapa kamu menyanyikan lagu sedih, Adica?" tanya Arlita ingin tahu.

"Saya tidak tahu...sejak kapan mulanya." Kamila mendesah, menatap langit malam berbintang.

Bintang-bintang terlihat jelas dari bukit itu. Arlita bertanya-tanya, dari mana Adica mendapat informasi tentang tempat seindah ini. Sebagai penyiar radio yang harus tahu trend, pastinya referensi tempat-tempat kekinian yang Instagramable mudah didapatnya.

"Terima kasih Sayang...telah mengajak Ummi ke tempat seindah ini." ucap Arlita lembut.

"Tak perlu berterima kasih." potong Kamila.

"Saya memang menyukai Anda, Zaki. Rasa yang tumbuh dan terus membesar. Rasa yang membuat saya terus mencari Anda."

Abi Assegaf tertegun mendengarnya. Perempuan itu memanggil nama depannya, hanya Arlita yang boleh melakukannya. Salahnya juga karena ia pertama kali mengenalkan diri pada Kamila dengan nama depan.

"Saya cinta Anda...cinta sekali." Kamila melanjutkan untaian perasaannya.

Perasaan Arlita semakin tenang. Adica menuntunnya lembut, kali ini membawanya ke sebuah resto di sisi bukit. Restoran bergaya vintage dengan ruangan-ruangan luas dan live music. Sengaja Adica memilihkan private room untuk mereka berdua.

Berdua. Ya, Abi Assegaf dan Kamila hanya berdua di taman itu. Syifa dan enam pelayan memberi private space untuk mereka. Biarlah, biarlah mereka yang selesaikan.

"Lupakan saya, Kamila." pinta Abi Assegaf halus.

Kamila menggeleng kuat. Kedua tangannya ia letakkan di pinggang. Perempuan dengan mala-kalung manik-manik-di lehernya itu tak rela. Tak rela harus melupakan pria yang dicintainya begitu saja.

"Saya sudah memiliki Arlita. Posisinya takkan tergantikan wanita mana pun."

"Jika Arlita sudah meninggal...?" Kamila menggantung kalimatnya dengan kurang ajar. Beraninya mendoakan Arlita cepat mati.

"Ummi Arlita takkan terganti," kata Adica setulus-tulusnya.

Tangan Arlita bergetar hebat. Pisau yang dipegangnya ikut bergetar. Adica sigap membantu Umminya memotongkan tenderloin steak. Mereka bukanlah sahabat. Bukan pula kekasih. Arlita tak seperti Abi Assegaf yang menempatkan diri sebagai orang tua sekaligus ayah untuk anak-anaknya. Ia tempatkan dirinya hanya sebagai ibu. Pola interaksi Adica dengan Abi Assegaf pure antara ibu dan anak lelaki.

"Anak laki-laki saya...anak perempuan, juga istri saya, mereka semua butuh saya. Tak mungkin saya tinggalkan mereka demi perempuan lain. Lupakanlah saya, Kamila. Cari pria baik lainnya di dunia, dan menikahlah."

Bujukan lembut Abi Assegaf tak mempan. Perempuan itu tertawa hambar. Beginikah sifat rerata calon pelakor? Keras kepala, memaksakan kehendak mereka, dan tak berempati pada pasangan resmi?

"Saya yakin Anda akan menemukan pria terbaik, Kamila. Dan itu bukan saya."

"Bagaimana kalau ternyata pria itu adalah Anda?"

"Saya tidak yakin. Karena saya bertekad menjadikan Arlita pendamping hidup saya dunia-akhirat."

Cukup, seharusnya itu sudah cukup. Kamila tertunduk dalam, memainkan kerah bajunya. Dua titik bening bergelayut di mata sipitnya. Abi Assegaf mendekat, tapi tak mau menyentuh perempuan itu. Tanda tanya berkejaran di hatinya. Mengapa sejak dulu ia banyak disukai wanita Non-Muslim? Mungkinkah ada sesuatu dalam dirinya yang membuat putri-putri Hawa berbeda iman datang mendekat bagai tertarik magnet?

**    

"Ya ampun...apa lagi ini, Sayang? Sudah cukup kamu menyenangkan hati Ummi. Ajak Ummi ke bukit bintang, makan steak, terus sekarang...?"

Arlita tertawa. Tak bisa lagi mencegah dirinya sendiri. Setelah dinner mewah di resto bergaya vintage, Adica membawa Arlita ke mall. Berbelanja? Bukan. Menonton film terbaru. Ya, Adica mengajak Umminya nonton film terbaru yang lagi hits. Begini cara Adica menyenangkan ibu angkatnya.

Walau cinta radio, keluarga Assegaf tak pernah anti film dan televisi. Mereka justru penyuka film. Jika ada film hits yang bagus, pasti mereka tak ketinggalan menyaksikannya. Malam ini, Adica menonton film berdua saja dengan Arlita. Boleh saja separuh hidupnya dihabiskan tanpa figur seorang ibu. Tapi percayalah, violinis dan penyiar tampan ini tahu bagaimana cara membahagiakan ibunya.

"Ibu Kamila..." Syifa menjajari langkah perempuan itu, berbaik hati membukakan pagar.

"Jangan panggil saya Ibu! Saya bukan ibumu!" gertak Kamila kasar. Syifa mengerjapkan mata. Sampai kapan pun, dia takkan pernah membiarkan perempuan kasar dan tidak cantik ini dekat-dekat Abinya.

"Saya antar pulang ya? Ibu Kamila tidak usah naik taksi." kata Syifa halus.

Kamila memutar tubuh, menatap Syifa tajam. "Kamu kira saya tak bisa pulang sendiri?! Minggir! Anak kecil sepertimu jangan dekat-dekat aku!"

Abi Assegaf yang lembut dan berwibawa tak pantas bersama Kamila. Syifa berusaha tetap sabar. Ia berdiri menemani Kamila sampai perempuan itu naik taksi. Dilambaikannya tangan pada taksi biru yang melaju pergi, amat berharap penumpangnya tak pernah kembali lagi.

"Lagi? Ini...kalau Ummi masih mau."

Adica menyodorkan sekantong pop corn. Senyum Arlita merekah. Pop corn, makanan yang dirindukannya. Ia merogoh kantong, mengambil beberapa dan memakannya dengan anggun.

Sekilas Adica melirik Umminya. Lihatlah, bahkan cara makan dan cara duduk Arlita anggun sekali. Seanggun Syifa dan Silvi. Biar saja penonton yang duduk di sekitarnya salah arti melihat tatapan tulus dan memuja Adica untuk Umminya. Banyak di antara mereka yang beranggapan Adica dan Arlita pasangan kekasih beda generasi.

"Ketemuan dari kencan online kali..."

"Heran ya, anak muda ganteng gitu kok mau-maunya sama wanita yang lebih tua? Cantik sih, tapi ya...tetap saja."

"Kayak nggak ada gadis aja."

Mereka bukanlah penonton film yang baik. Bukannya fokus dengan film, mereka malah nyinyir dengan sesama penonton. Arlita santai saja. Tetap diam dan anggun. Sementara itu, Adica stay cool.

Nikmatnya pop corn dan nyinyiran penonton tak lagi terasa. Tersedot alur cerita film yang mengharukan. Cerita film itu teramat sedih. Akting para pemerannya makin membuat penonton terhanyut. Tanpa terasa, air mata mengalir di pipi Arlita. Mualaf cantik blasteran Indo-Jerman itu memeluk Adica dan menangis.

"Jangan menangis, Syifa Sayang. Sudah berakhir..." hibur Abi Assegaf, membelai-belai lembut kepala putrinya.

Syifa mengeratkan pelukan. Tubuhnya berguncang hebat dalam isakan. Dengan sabar, Abi Assegaf menghapus buliran air mata putrinya.

"Ibu Kamila kasar, Abi..."

"Tak apa-apa, Sayang. Tak apa-apa...dia hanya kecewa dan marah."

"Tapi kenapa Syifa jadi pelampiasannya?"

Di rumah mewah tepi pantai, Asyifa Assegaf menangis karena kesedihan. Di bioskop, Arlita Assegaf menangis karena keharuan. Si putri kampus sedih karena dikasari. Mualaf cantik terharu sebab dimanjakan anak lelakinya.

**     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun