Perasaan Arlita semakin tenang. Adica menuntunnya lembut, kali ini membawanya ke sebuah resto di sisi bukit. Restoran bergaya vintage dengan ruangan-ruangan luas dan live music. Sengaja Adica memilihkan private room untuk mereka berdua.
Berdua. Ya, Abi Assegaf dan Kamila hanya berdua di taman itu. Syifa dan enam pelayan memberi private space untuk mereka. Biarlah, biarlah mereka yang selesaikan.
"Lupakan saya, Kamila." pinta Abi Assegaf halus.
Kamila menggeleng kuat. Kedua tangannya ia letakkan di pinggang. Perempuan dengan mala-kalung manik-manik-di lehernya itu tak rela. Tak rela harus melupakan pria yang dicintainya begitu saja.
"Saya sudah memiliki Arlita. Posisinya takkan tergantikan wanita mana pun."
"Jika Arlita sudah meninggal...?" Kamila menggantung kalimatnya dengan kurang ajar. Beraninya mendoakan Arlita cepat mati.
"Ummi Arlita takkan terganti," kata Adica setulus-tulusnya.
Tangan Arlita bergetar hebat. Pisau yang dipegangnya ikut bergetar. Adica sigap membantu Umminya memotongkan tenderloin steak. Mereka bukanlah sahabat. Bukan pula kekasih. Arlita tak seperti Abi Assegaf yang menempatkan diri sebagai orang tua sekaligus ayah untuk anak-anaknya. Ia tempatkan dirinya hanya sebagai ibu. Pola interaksi Adica dengan Abi Assegaf pure antara ibu dan anak lelaki.
"Anak laki-laki saya...anak perempuan, juga istri saya, mereka semua butuh saya. Tak mungkin saya tinggalkan mereka demi perempuan lain. Lupakanlah saya, Kamila. Cari pria baik lainnya di dunia, dan menikahlah."
Bujukan lembut Abi Assegaf tak mempan. Perempuan itu tertawa hambar. Beginikah sifat rerata calon pelakor? Keras kepala, memaksakan kehendak mereka, dan tak berempati pada pasangan resmi?
"Saya yakin Anda akan menemukan pria terbaik, Kamila. Dan itu bukan saya."